Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Friday, February 4, 2011

Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

SUKU Jawa adalah satu bagian dari keseluruhan kemajemukan bangsa dengan berbagai suku dan golongan yang ada. Orang Jawa dengan segala falsafah dan budayanya yang adi luhung juga merupakan cerminan dari partikularitas sebuah bangsa yang kaya akan budaya.

Salah satunya adalah falsafah kerja yang menarik untuk dipelajari dan diperhatikan secara seksama. Falsafah tersebut adalah, “sepi ing pamrih, rame ing gawe” – merupakan satu filsafat kerja yang sifatnya sangat provokatif. Kira-kira artian kasarnya adalah seperti berikut, “hindarilah (sepi) segala pamrih dalam setiap apa yang dikerjakan, tapi bersukarialah (rame) tatkala bergotong royong dalam aktivitas sosial menolong sesama.

Menghindari pamrih dalam setiap aktivitas sosial yang dikerjakan adalah satu tindakan mulia. Sebab hal ini akan menghindarkan diri dari sikap sosial-negatif yang boleh saja disebut sebagai satu kemunafikan sosial, meminjam istilah Mbak Luluk Widyawan, salah satu penulis mirificanews. Apakah itu? Kemunafikan sosial, ialah sikap sosial yang munafik. Sikap sosial yang dilakukan sebenarnya hanya pura-pura dan tidak lahir dari sikap batin yang tulus ikhlas. Sikap sosial yang dilakukan hanya karena terpaksa, sungkan, ewuh-pakewuh. Seseorang yang melakukan tindakan sosial hanya karena malu dengan struktur di dalam lingkungan, gereja atau pendetanya. Kemunafikan sosial juga bisa berupa melakukan tindakan sosial tetapi mengharapkan perhatian, pujian atau pamrih. Padahal sikap sosial semestinya lahir dan tumbuh dari rasa solider, prihatin, ikut merasakan penderitaan dan duka sesama dengan tulus iklas. Sikap sosial seharusnya muncul bukan karena dorongan dari orang lain, tetapi lahir dari diri sendiri yang sungguh tergerak untuk membantu dan menolong sesama.

Benar, segala hal yang sifatnya untuk kebaikan memang di-stimulus oleh satu dorongan dari satu kuasa ilahi yang mampu mendobrak hati dan memaksa diri untuk segera melakukan aksi. Namun demikian, bertindak atau berdiam diri dan berpangku tangan, pilihannya ada pada setiap orang , termasuk segala motivasi yang menghiasi (lebih tepatnya mencemari) stimulasi ilahi tadi. Karena itu tidak semua perbuatan baik – meskipun dorongannya berasal dari stimulasi-ilahi – memiliki motivasi yang nilainya secara kualitas sama dengan tindakan baik yang segera dilakukan. Karena itu bukan satu hal aneh kalau pamrih, dan motivasi kurang tepat, selalu saja ada dan niscaya akan terus ada dalam setiap gawe – tindakan sosial yang mulia. Mengingat, manusia sebagai akibat dari kejatuhannya (kejatuhan dalam dosa) memang membawa natur negatif, meski memiliki potensi untuk menolaknya.

Lantas bagaimana agar tindakan sosial yang mulia tadi tetap disertai dengan motivasi yang mulia? Segala jawabnya tentu ada dalam benak kita masing-masing. Sebab kita semua disertai dengan satu potensi yang sama, baik untuk menyetujui atau menolak – baik untuk memilih motivasi yang baik maupun mengingini pamrih. Biarlah kita bijak menyikapi hal ini. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment