Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Saturday, February 5, 2011

Kembara Ke Alam Cinta

Duduk sendiri dipagi hari, bertemankan secangkir kopi pastilah nikmat bukan buatan. Sembari menikmati hangatnya mentari pagi, sruullppppp…. Uaahhh… nikmat betul kopi hitam kental buatan mamak pikirku. Perlahan mataku memandang jauh kedepan menembus rimbun dedaunan hijau berjari ganjil , kebun singkong milik tetangga. Pikiran mengembara jauh , semakin dalam dan terhenti pada satu objek ganjil, bulat kehitam-hitaman. Didepan benda tadi samar terlihat papan bertuliskan TK Dharma Wanita Plandaan I. Mmm… rasanya aku kenal benda itu. Tak salah lagi, itu adalah ayunan di TK (taman Kanak-Kanak) samping sekolah SD ku dulu. Kawan, aku memang tak pernah bersekolah di TK Itu, tapi sewaktu SD, hampir setiap hari bermain di tempat itu. Ayunan dari bekas ban mobil itulah tempat favoritku dulu.

Meski bukan murid TK itu, tapi aku anak kesayangan guru-guru di tempat itu lho.. tak heran kalau aku pun boleh bermain apa pun di TK itu. Perlahan pikiran kembara beranjak lebih dalam masuk ke TK itu, kembali teringat di benak sosok perempuan rambut ikal, berkulit sawo matang, mengenakan baju putih-coklat kesayangannya. Tak ingat lagi aku siapa namanya. Yang teringat hanya perhatian lebih perempuan paruh baya itu. Tak jelas apa alasanya, mengapa Ibu ini begitu baik padaku waktu itu. Yang terlintas dimata dan tersimpan rapi dibenak hanyalah kesabarannya menyisir rambutku, merapikan baju dan menggunting kuku ku yang hitam, kecoklatan itu. Heheh.. maklum waktu kecil dulu hobi “bertualang”, paling tidak menurutku.

Oh ya teman.. baru ingat… ibu itu juga yang dulu pernah membawaku ke salon tempat ia bekerja usai mengajar. Dengan tangannya sendiri pula bu guru satu ini mencukur rambutku. Wuahhh… bangga betul aku waktu itu. Sepulang dari salon, tanpa terlebih dahulu mengganti baju seragam yang merah -putih kekuning-kuningan itu langsung saja kupamerkan hasil karya bu guru ku ke Arip, Bambang, Nano, dan Sugi, teman sebayaku di kampung. “Cah.. aku tas di cukur neng salon”..(kawan-kawan, aku baru saja potong rambut ke salon) Kontan semua langsung tertawa terpingkal-pingkal, dan dengan nada mengejek mereka berujar …. “hahahha cukur neng salone cak ipun piye…?” (hahahha potong rambut di speakernya cak ipun ya..?), oh ya perlu kawan-kawan tahu, di tempatku, yang dimaksud Salon adalah speaker. “Betul… aku baru saja cukur di salon”, dengan wajah memelas mengharap mereka percaya.

Dengan perasaan sedih, dan lenyapnya harapan komentar bagus dari Arip, Bambang, Nano, dan Sugi, aku melangkah pulang – gagal sudah usaha membanggakan hasil karya bu guru. Kapan lagi bisa membanggakan bu guru, pikirku. Segera perasaan sedih, merasa bersalah, menyesal, marah menggelayut di benak waktu itu. “Lee…. Tole…. Mbok ngangsu disek.” (Nak.. tolong ambil air dulu)Panggilan Mamak membuyarkan seluruh hayalan masa kecilku. Tapi rasa bersalah itu, tetap- saja tak terlepas dari benak. Seolah ada satu celah yang belum tertutup dalam jiwaku. Ah.. bagaimana mungkin aku dapat membalas kasih dan perhatian Ibu itu? Bahkan seperti apa wajahnya pun aku sudah lupa, apa lagi jika ditanya dimana tempat tinggalnya. Yah.. biarlah itu menjadi kenangan manis yang kelak dapat menginspirsi diriku. Betul… kasih sejati dari seorang guru memang tak menuntut balas, tak berpamrih. Bagaimana dengan kasih sang empunya cinta itu ya? Bukankah kasih-Nya itu lebih besar dari seorang guru. Bahkan hingga Ia rela mengosongkan diri (kenosis) mengambil rupa sebagai manusia, turun ke dunia, dan meninggal demi menebus dosa seluruh umat manusia. Bagaimana mungkin aku bisa membalasnya?.. Ah.. makin bertambah besar pula celah jiwa dalam diriku.. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment