Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Friday, February 11, 2011

Mengejar Makna Hidup

MENYAKSIKAN film berjudul “Lari Dari Blora” sejenak membawa orang menelusuri kembali jalan kearifan luhur yang hampir terlupakan. Budaya dan kearifan lokal yang sekaligus bagian dari kristalisasi makna dan tertancap begitu erat dalam benak orang Samin. Sekelompok orang yang memegang te-guh ajaran Samin Surosentiko, seorang ber-darah ningrat, yang lahir dengan nama Raden Kohar, yang kemudian mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko menunjukkan sebuah nama yang bernafas wong cilik.

Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan yang dilaku-kan pun tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terha-dap Belanda, misalnya dengan tidak membayar pajak. Kini ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan me-ngerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu. Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan rakyat terhadap penjajah.

Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap orang Samin, bahkan sampai saat ini pun tak sedikit orang menganggap wong Samin ini sebagai sekelompok orang yang kolot, aneh, dan bodoh. Bagaimana tidak, ba-nyak orang memandang orang Samin sebagai “terbelakang” oleh karena sikap mereka yang menentang modernisasi dan kemajuan jaman. Satu ciri konkrit dari sikap ini adalah penolakan mereka menggunakan uang sebagai alat tukar dalam berdagang. Ciri lain pun dapat ditemui dari pandangan mereka soal pendidikan. Orang Samin enggan, bahkan tak sedikit yang menolak keberadaan pendidikan formal yang ditawarkan kepada mereka, meskipun saat ini sudah ada bangunan sekolah dan pendidikan formal yang regular dijalankan di lingkungan orang Samin.

Keengganan masyarakat Samin mengenyam pendidikan formal bukan karena mereka sedang terkondisi dalam “kebodohan”, melampaui hal itu, justru filosofi di balik penolakan itulah yang kadang orang sering lupakan. “Ono tulis tanpo papan, ono papan sak jeroning tulis” (Ada tulisan, tapi tidak ada papan, tapi ada papan di dalam tulisan). Ada sebuah paradoks dengan arti mendalam yang coba disuguhkan. Bagaimana mungkin ada tulisan, kalau tidak ada media sebagai papan untuk tulisan - sebaliknya justru papan (media tulis) itu ada dalam sebuah tulisan.
Dengan kearifan ini, wong Samin coba men-definisikan bahwa belajar itu tidaklah hanya sebatas pada tulis (pendidikan formal). Yang namanya pendidikan bagi orang Samin merupakan realitas keseharian yang dekat dan ada di sekitar mereka, umumnya juga sangat pragmatis seperti, bertani, memecah batu, dan pekerjaan lain. Intinya, yang dinamakan pendi-dikan merupakan suatu poses pembelajaran terhadap hidup. Proses belajar tanpa ada batasan dan limitasi usia. Proses di mana orang “mengejar” makna hidup, dan bagaimana memahami hidup.

Siapa pun kita, dan seberapa banyak pun titel yang tersemat dalam nama kita, itu bukanlah satu hal yang terlalu berlebihan dan patut dibanggakan, jika karenanya justru orang menyingkir dari pencariannya terhadap makna hidup. Memaknai hidup juga bukan sekadar mengerti secara teologis bahwa saya beriman kepada Kristus dan yakin terhadap karunia keselamatan-Nya, tapi hanya diam. Lebih dari itu, aksi nyata dari iman progresif kepada Kristus yang diekspresikan dalam laku iman dan tindakan nyata yang pragmatis dan fungsional – dapat langsung dirasakan oleh orang sekitar adalah pengejawantahan dari makna hidup. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment