Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Saturday, February 12, 2011

Siapa Meninggikan Diri, Akan Direndahkan

Sudah menjadi kewajiban pemeluk agama untuk menjalankan ritual keagamaannya. Sebab dalam sebuah ritual terkandung beragam makna yang mengarahkan sipelaku ritual pada sosok Tuhan dengan segala kebe-saran dan kemahaan-Nya. Ritual memiliki ber-aneka ragam corak dan bentuk dengan segala kuantitas dan kualitas nilai yang selalu setia runut di belakangnya. Dalam ritual terkandung banyak unsur yang patut dicermati, mulai dari unsur perintah (seperti yang termaktub dalam buku suci), tradisi, sistem, dan kristalisasi ke-duanya yang berada pada satu tataran kualitas nilai normatif dan moral-spiritual yang menum-buhkan satu sikap kedisiplinan-otonom yang banyak dikenal orang dengan sebutan ibadah.

Di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, ibadah seolah menjadi kata kunci bagi umat Islam dalam setiap aktivitas hariannya. Di bulan Ramadhan seolah tak ada lagi jedah antara yang sekuler dan yang profan – seperti pemahaman sehari-hari yang dibuatnya. Segala aktivitas dengan kompleksitas ragam dan caranya semua seolah tak lepas dari satu kata di atas tadi, yakni ibadah. Tentu masih segar di ingatan kita tentang kejadian meninggalnya 21 orang dhuafa (orang miskin) di Pasuruan beberapa waktu lalu. Sungguh membuat miris hati, karena puluhan nyawa melayang hanya karena berusaha mengejar uang yang tak lebih dari Rp 30.000,- Tak besar memang, tapi betapa berharganya besaran uang itu bagi si dhuafa di ujung timur Pulau Jawa itu.

Banyak orang menyayangkan terjadinya peristiwa itu. Bahkan fatwa pengharaman pem-bagian zakat yang tak tepat cara, ala Haji Saikon itu pun segera menyeruak sebagai bentuk im-pulsif lembaga agama. Alih-alih mendapat pahala besar dari pembagian hartanya bagi kaum dhuafa, seperti yang dilakukan peng-usaha sukses di Pasuruan itu – yang diterimanya justru berbagai macam hujatan dan tuduhan juga ancaman pidana atas kelalaiannya yang menyebabkan sekian orang meninggal.

Ada sekian banyak pertanyaan dalam benak ini menyikapi peristiwa tadi. Tapi untuk apa, toh sudah terjadi. Tapi bagaimanapun perta-nyaan tetap saja mengganjal – semoga saja keresahan ini mampu menjadi alat pembela-jaran. Mungkinkah ada motivasi tak terpuji di balik sebuah tindakan terpuji seperti yang dilakukan oleh Haji Saikon? Mengapa dia tak mengalokasikan uangnya ke badan resmi yang mengurusi zakat dan sumbangan? Tak percaya-kah dia dengan badan resmi tadi? Atau Haji Saikon meragukan kredibilitas pengurus badan zakat tadi? Kata saudara kita muslim, walla-hualam (hanya Tuhan yang tahu).

Sulit menilai satu ibadah sebagai aktivitas wajib benar-benar bersih dari motivasi tak terpuji dari si pelaku. Bukankah pujian dan sanjungan me-rupakan bagian dari natur manusia? Lantas dapatkah sebuah ibadah betul-betul murni terlepas dari bercokolnya motivasi ini di hati pela-kunya? Sulit mengatakan ya dan tidak. Namun demikian, jika hal ini betul-betul terjadi, amat sangat disayangkan. Menyedihkan betul, ibadah dengan segala nilai kualitas dan niscaya ditambah pula nilai kuantitas pahalanya (seperti peng-ajaran umat Islam) serta-merta sirna begitu saja hanya karena setitik pamrih pujian dihati pelakunya.

Bukankah Alkitab pernah menyatakan bahwa jikalau kita mengharapkan sebuah pamrih pujian – maka apa yang kita inginkan sudah didapat? Tapi jangan lupa, sebenarnya apa yang dilaku-kan tadi sebenarnya sia-sia saja. Sebab ibadah yang dilakukan tadi cerminan ibadah yang bukan didasarkan pada keikhlasan – tapi pada satu motivasi untuk meninggikan diri. “Siapa yang meninggikan diri akan direndahkan,” itu kata Alkitab. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment