
Untuk menertibkan daerahnya agar lebih terlihat cantik dan indah, beberapa kota madya dan kabupaten tengah sibuk berbenah diri. Dan salah satu cara untuk mendukung hal ini adalah dengan menertibkan mereka si tuna wisma, gelandangan dan pengemis – disamping mempersiapkan payung hukum,
dengan menyodorkan sebuah rancangan peraturan daerah untuk gelandangan dan pengemis (raperda-gepeng). Entah alasannya apa, yang jelas orang miskin ternyata lebih dipandang sebagai perusak pemandangan kota dari pada diakui sebagai warga yang memiliki hak sama dengan lainnya. Karena itu gepeng (gelandangan dan pengemis) sengaja di tertibkan, lantas “dibuang”ke berbagai tempat untuk dilokalisir, sehingga tidak mengontaminasi warga lain yang dipandang memiliki status lebih tinggi.Alih-alih membuat rakyat sejahtera, wong-cilik malah semakin dibuat sengsara dengan raperda tersebut. Belum lagi persoalan derma yang diatur dalam raperda tersebut. Aneh betul, persoalan moral, dan ibadah seseorang kok dicampuri oleh penguasa. Orang miskin sekarang ini tak ubahnya seperti sampah saja – yang dapat didaur ulang jikalau dibutuhkan, dan dibuang atau dibakar tatkala dipandang tak lagi diperlukan. Di saat berurusan dengan data-sosial dan dana bantuan, oknum tertentu malah sengaja menjual kemiskinan, dengan tujuan agar dapat mendulang banyak rupiah. Di sisi lain, jikalau berurusan dengan keindahan kota, ketertiban kota dan kenyamanan kota – maka si miskin ini akan segera “diculik” untuk dibawa ke panti-panti sosial yang lebih mirip seperti penjara itu. “Makanya... kalau tak mau masuk panti, ya..jangan pernah menjadi miskin”. Siapakah orangnya yang seandainya dapat memilih, maka memilih hidup dan dilahirkan dalam keluarga miskin? Siapa juga yang mau sepanjang hidupnya menjadi miskin. Bagaimana sikap orang kristen dalam menyikapi persoalan kemiskinan. Kemiskinan adalah persoalan klasik lagi kompleks, karena itu akan sangat sulit menetukan sikap pas terhadap saudara kita yang dipandang sebagai miskin. Namun demikian, setidaknya ada satu hal kecil yang dapat dilakukan sebagai seorang kristiani agar tak buru-buru memberi penilaian, yang justru keliru nantinya.Meskipun teramat naif memandang persoalan kemiskinan yang dapat dikategorikan sebagai persoalan sekular dengan kaca mata teologi. Namun ini adalah salah-satu cara yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi kita untuk memberikan satu penilaian awal dan cara pandang yang tepat dengan meneladani bagaimana Yesus memandang orang miskin.Dari beberapa petunjuk dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Baru (PB) disana dinyatakan bagaimana Yesus seringkali memakai orang miskin sebagai ilustrasi untuk menunjukkan sebuah teladan hidup yang penuh dengan ucapan syukur dan kebergantungan penuh (dependent) terhadap Allah yang sedikit dimiliki oleh mereka yang kaya. Di samping itu, persembahan orang miskin juga sering dipakai sebagai teladan. Sebab mereka memberi dari kekuarangannya – berbeda dengan si kaya yang memberi dari sebagian kecil hartanya. Dalam PB si miskin juga dipandang sebagai mereka yang pertama-tama diberkati dan diberi jaminan akan pemilikan kerajaan Allah. (Luk 6:20). Artinya, Yesus sangatlah menghargai si miskin. Kristus juga mencoba mengetengahkan bagaimana si miskin ternyata memiliki kelebihan khusus di banding yang lain. Apa lagi jikalau melihat bahwa semua manusia, termasuk si miskin adalah segambar dengan Allah. Dengan rujukan diatas, bukan berarti kita dianjurkan untuk menjadi miskin. Tapi justru diajar untuk melihat bagaimana meneladani kehidupan orang miskin. Baik dari segi ketaatannya, ucapan syukur, dan kebergantunganya kepada Tuhan. Karena itu kita, baik yang merasa diri kaya atau biasa-biasa saja hendaknya mau belajar dari wong-cilik – bukan malah seenaknya menendang meminggirkan dan melokalisir mereka hanya karena sekedar mengejar piala adipura demi gengsi kota atau wilayahnya.Slawi
0 comments:
Post a Comment