Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

Kristen ndeso


Banyak orang menganggap orang kota itu selalu lebih maju dibandingkan dengan orang desa. Mulai dari pola pikir, kebiasaan, sampai dengan pergaulan pun katanya lebih maju.

Menjadi orang kota seolah menjadi mimpi banyak orang desa. Sebab dengan menjadi orang kota atau minimal pernah menetap dikota, sepertinya dapat menambah gengsi dan percaya diri saja. Tak sekadar bahasa yang berubah menjadi lebih gaul, tingkah laku, pola pikir, dan wawasan pun kian berubah dan bertambah, entah itu ke arah yang lebih positif atau malahan sebaliknya.

Mungkin ada banyak kelebihan yang dimiliki oleh orang kota jika dibanding dengan orang desa – akan tetapi, juga tak sedikit pula orang desa yang memiliki kelebihan diatas dari orang kota. Tak hanya soal intelektualitas tapi juga banyak prestasi dibidang lain yang menonjol. Belum lagi soal kualitas keberagamaan dan spiritualitas – orang desa mungkin juga tak kalah dengan orang kota. Meskipun secara fenomena keberagaamaan, pola beragama orang kota mungkin lebih maju, karena memang lebih cepat mendapat akses informasi dari dunia luar. Berbeda dengan model beragama orang desa yang katanya sangat kolot dan tradisional itu. Namun jikalau dilihat dari segi kontekstual dan kualitasnya, maka hampir dapat dipastikan jikalau model beragama yang desa itu lebih mendarat, lebih mudah diterima, dan sangat merakyat. Andai boleh di berikan nama, mungkin model beragama seperti ini lebih cocok diberi nama dengan “kristen ndeso”

Meski terdengar aneh, namun model beragama seperti “kristen ndeso” ini ternyata sangat diminati di umumnya daerah pedesaan. Apalagi jikalau di daerah itu mayoritas penduduknya adalah kristen. Suasana guyub rukun, damai dan saling berbagi mudah sekali ditemui dalam jemaat model ini. “Kristen ndeso” nyata-nyata mampu menarik kembali romantisme beragama gaya jemaat antiokhia – jemaat kristen mula-mula itu. Meski sebagian besar ekonomi orang desa sangatlah pas-pas-an, namun mereka tetap dapat bersyukur, nrimo, bergantung sepenuhnya terhadap Allah.

Dalam beragama model“kristen ndeso” ini, status sosial, derajat dan pangkat, tak menjadi suatu hal yang terutama. Malahan yang terpenting dari semuanya adalah, ketika mereka dapat berbagi, saling memberi dalam jalinan keluarga Tuhan. “kristen ndeso” umumnya sangat menghargai budaya setempat. Bagi mereka kedatangan Kristen yang juga menawarkan budaya baru itu, tak boleh menghancurkan budaya lama yang Adi-luhung itu. Karena itulah budaya setempat sangatlah ditonjolkan dalam setiap liturgi. Mulai dari pemilihan lagu dalam bahasa setempat; nyanyian mazmur yang di nyanyikan mirip dengan salah satu pakem nyanyian setempat; sampai dengan pewartaan firman dalam bahasa setempat. Sebab orang akan lebih mudah mengenal Firman dalam bahasanya sendiri. Bukan bermaksud Syirik atau sinkretis, tapi lebih kepada upaya memberi warna lokal terhadap budaya baru yang nota bene import itu.

Dengan demikian orang kota seharusnya juga dapat memetik makna dari model “kristen ndeso”ini. Perlu juga senantiasa dibandingkan dan direfleksikan demi sebuah perubahan. Masihkah dapat ditemui suasana kekeluargaan seperti yang dirasakan oleh orang “kristen ndeso”. Akankah romantisme beragama seperti jemaat Antiokhia dapat ditemui lagi di jemaat yang kota, yang sangat heterogen itu? Adakah sikap nrimo, pasrah dan kebergantungan sepenuhnya pada Allah, yang terekspresi lewat sikap saling memberi dapat ditemui dalam kristen kota. Ataukah justru sebaliknya, suasana penuh dengan dinamika, kompetisi dan nafsu menjadi yang terdepan dan terutama – yang justru akan tampak.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment