Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

Relasi tubuh-jiwa dalam diri

Satu tahun lalu, tepatnya beberapa hari mendekati moment paskah muncul dalam salah satu media berskala nasional, artikel tentang kubur Yesus telah ditemukan. Membaca artikel tersebut kita semua tahu bagaimana kesimpulan penulisnya tentang kebangkitan Yesus – penulis secara tersirat menyatakan bahwa, kebangkitan Yesus bukanlah kebangkitan tubuh dan jiwa. Sebab kubur Yesus telah ditemukan (menurutnya), karena itu kebangkitan itu bukanlah kebangkitan tubuh dan jiwa. Jiwa saja yang bangkit, sebab jiwa itulah yang imortal, kekal, bangkit menuju keabadiannya. Menurutnya kebangkitan ini tak bisa dipahami secara literal, dan lebih baik kalau memandangnya sebagai metafor saja. Entah apa tujuan penulis yang juga seorang pendeta di salah satu gereja yang kata orang, main-stream itu. Yang jelas, setelah peristiwa itu, di beberapa media, penulisnya menyatakan bahwa sebenarnya tujuannya menulis artikel itu bukanlah untuk menghancurkan iman jemaat tentang kebangkitan daging, tapi lebih kepada mempersiapkan jemaat dan mengajak jemaat untuk menyikapi dengan arif bahwa di luar sana telah ada fenomena yang membentur iman seperti ini. Dan mungkin nanti juga akan muncul fenomena baru yang lebih besar lagi.

Sedikit bergeser dari masalah penulis artikel dan tulisannya, kita sekarang coba menilik bagaimana banyak agama, banyak orang dan termasuk penulis tadi mencoba membedakan dengan radikal bahwa jiwa dan tubuh itu memiliki level kualitas yang teramat berbeda. Jiwa lebih mulia, dan tubuh lebih rendah kualitasnya. Pandangan semacam ini tak hanya muncul di timur yang secara mudah dapat kita temui dari berbagai agama, termasuk Budha. Tapi juga di barat, yang salah satunya diwakili oleh aliran filsafat dan spiritualitas Gnostik.

Oleh mereka jiwa dianggap sebagai sesuatu yang tak pernah mati (imortal), kekal, abadi. Bahkan ada yang menyatakan bahwa jiwa adalah percikan api ilahi. Karena itulah manusia merupakan bagian kecil dari allah yang suatu saat kembali kepada Induk api itu. Sedangkan tubuh dianggap sesuatu yang bersifat keduniawian. Tubuh itu bisa mati, membusuk dan lalu lenyap. Karena itulah tubuh dianggap sebagai sesuatu yang duniawi dan tak kekal. Dengan adanya tubuh manusia dianggap telah masuk didalam penderitaan. Dengan adanya tubuh, manusia seperti terikat dalam satu lingkaran “penderitaan” dengan segala pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan yang didasari oleh berbagai nafsu yang muncul sebagai natur dari tubuh itu.
Menurut Martin Sinaga, dosen salah satu STT di jakarta, konsep seperti ini justru akan melahirkan kerohanian yang hirarkis. Kerohanian yang terlalu mementingkan ekstase diri dan religiusitas – yang pada akhirnya tak berdampak sedikit pun di dunia nyata dan lingkungannya. Sebab bagi mereka jiwa adalah segalanya. Karena itulah yang makin rohani dinggap makin tinggi jabatannya. Masih menurut Martin, sebenarnya justru hal inilah yang hendak dilawan oleh Yesus dalam peristiwa kebangkitannya.

Karena itu nyata sudah bahwa kekristenan justru sangat menghargai hal yang bersifat materi maupun kasat mata. Sama halnya dengan persoalan tubuh dan jiwa. Tubuh kita ini sama pentingnya dengan jiwa kita. Sebab di sanalah kita dapat disebut diri. Diri adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh. Tanpa tubuh kita mirip seperti hantu dan tentunya tak layak disebut diri atau manusia. Dan tanpa jiwa, tubuh lebih mirip benda mati layaknya mayat yang hendak dikubur, tiada berguna selain di pendam dalam dalam, agar nanti tak muncul bau busuk.

Diri kita adalah jiwa yang bertubuh sekaligus tubuh yang berjiwa. Sehingga soal kebangkitan itu adalah soal rahasia. Nah, ketika keyakinan iman masuk ke dalamnya, maka kita mau mengatakan bahwa nama kita yang sekarang adalah nama yang juga akan disebut di surga. Kiranya keniscayaan ini kan segera menampakkan dirinya. Amin.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment