Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

Antara Rindu dan Rasa Bersalah

Rindu adalah satu perasaan yang keluar dari dalam diri yang seringkali membuat dada ini serasa sesak. Rindu juga satu rasa yang bersumber dari perasaan cinta. Perasaan rindu seringkali juga tumbuh karena sudah sekian lama tak bertemu. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata rindu dijelaskan dengan,1). Sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu: 2). Merasa ingin sekali hendak bertemu.

Ada satu hal menarik lagi dari apa yang dinamakan rindu ini. Rindu tak sekadar menyesakkan dada, tapi dia juga memiliki satu kekuatan besar yang mampu mendorong si perindu tadi tuk sesegera mungkin memuaskannya. Karena itulah si perindu pun kan segera memutar otak tuk segera memenuhi kebutuhan itu. Mungkin ini adalah natur dari perasaan rindu itu sendiri. Seandainya saja perasaan rindu itu tak ada lagi, dan tak bisa dinikmati, mungkin yang dinamakan cinta itupun pastinya juga hanya muncul sesaat saja, lalu lenyap entah kemana. Cinta dan rindu tentunya tak bisa dilepaskan kedekatannya. Rindu tumbuh karena memang ada cinta, dan begitu pula sebaliknya, cinta dapat bertahan juga karena ada perasaan rindu.

Dalam hubungannya dengan spiritualitas, rasa rindu seringkali membantu. Rasa rindu mendorong si perindu tuk segera melakukan kewajibannya sebagai penyembah – tuk berserah diri dalam jalinan persekutuan pribadi, memuji dan menyembah Tuhan. Perasaan rindu ini tak hanya muncul tatkala seseorang memiliki kedekatan khusus dengan sesembahannya, tapi juga kepada mereka yang telah lama terhilang, rasa rindu ini pun muncul. Sebab dalam spiritualitas, rasa rindu ini bukanlah satu perasaan yang sengaja dimunculkan, tapi lebih kepada satu dorongan yang muncul oleh karena ada yang menggerakkannya. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana meresponi perasaan rindu ini. Meski perasaan rindu itu begitu menggelora dalam kalbu, namun bagi mereka yang sudah lama terhilang, perasaan rindu itu seolah tertutupi oleh satu benteng diri yang begitu kokoh – sehingga takut meresponi. “Benteng” tersebut seringkali berupa rasa bersalah kita, rasa malu, rasa berdosa kita dan rasa diri tak layak tuk kembali meresponi panggilan yang muncul dari rasa rindu tadi. Namun sangat disayangkan, orang model ini seringkali menutup diri dan justru menekan perasaan tadi dengan pembenaran diri bahwa dia memang tak layak. Banyak orang dengan mudahnya memberikan solusi kepada mereka ini agar minta ampun, dan mengakui setiap dosa yang telah diperbuat kepada Allah. Yang jadi persoalan bukanlah minta ampun dosa, tapi diri yang tak kuasa tuk minta ampun. Karena itu persoalan dirilah yang harus segera diselesaikan.

Tentang hal ini, dalam salah satu artikelnya, Pdt. Eka Darma Putera pernah mengatakan. Setiap kali kita berbuat dosa, maka ada tiga pihak yang kita sakiti: 1) diri sendiri; 2) Allah; 3) orang lain atau sesama kita. Berbuat dosa berarti menghianati ideal kita yang paling tinggi. Memperburuk citra kita yang terbaik. Menjadikan penampilan kita lebih jelek daripada seharusnya. Karena itu, berdosa adalah merugikan diri sendiri. karena itu akuilah dosa itu pertama kepada diri sendiri! Sebab tidak ada pengakuan dosa yang lebih tulus dan jujur daripada mengaku dengan sungguh-sungguh di dalam hati “ya, aku memang bersalah”.

Jujur pada diri merupakan sebuah awal yang tepat tuk melangkah maju menuju satu permohonan ampun yang ikhlas dan tulus kepada Allah dan sesama. Sebab adalah satu hal yang tak mudah untuk jujur terhadap diri. Karena memang seperti tak ada punish secara langsung yang dapat memberikan hukuman pada kita, tatkala kita tak jujur dengan diri. Meskipun rasa bersalah itu pun akan muncul tatkala diri dibohongi.

Mari kita belajar jujur pada diri, menyatu (manunggal) dengan diri. Berdamai dengan diri, tuk melangkah maju menembus “siksa” rasa malu dan bersalah, hingga kita dimampukan tuk mengaku diri berdosa, lalu jujur dihadapan Allah dan sesama. Kiranya Tuhan menguatkan kita, terus menggerakkan kita tuk berani jujur terhadap diri, Allah dan sesama. Dengan demikian pula, kiranya rindu yang menggelora itu pun kan segera terobati, dan kita kan terus merasakan rindu, rindu dan rindu lagi.
Rindu adalah satu perasaan yang keluar dari dalam diri yang seringkali membuat dada ini serasa sesak. Rindu juga satu rasa yang bersumber dari perasaan cinta. Perasaan rindu seringkali juga tumbuh karena sudah sekian lama tak bertemu. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata rindu dijelaskan dengan,1). Sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu: 2). Merasa ingin sekali hendak bertemu.
Ada satu hal menarik lagi dari apa yang dinamakan rindu ini. Rindu tak sekadar menyesakkan dada, tapi dia juga memiliki satu kekuatan besar yang mampu mendorong si perindu tadi tuk sesegera mungkin memuaskannya. Karena itulah si perindu pun kan segera memutar otak tuk segera memenuhi kebutuhan itu. Mungkin ini adalah natur dari perasaan rindu itu sendiri. Seandainya saja perasaan rindu itu tak ada lagi, dan tak bisa dinikmati, mungkin yang dinamakan cinta itupun pastinya juga hanya muncul sesaat saja, lalu lenyap entah kemana. Cinta dan rindu tentunya tak bisa dilepaskan kedekatannya. Rindu tumbuh karena memang ada cinta, dan begitu pula sebaliknya, cinta dapat bertahan juga karena ada perasaan rindu.

Dalam hubungannya dengan spiritualitas, rasa rindu seringkali membantu. Rasa rindu mendorong si perindu tuk segera melakukan kewajibannya sebagai penyembah – tuk berserah diri dalam jalinan persekutuan pribadi, memuji dan menyembah Tuhan. Perasaan rindu ini tak hanya muncul tatkala seseorang memiliki kedekatan khusus dengan sesembahannya, tapi juga kepada mereka yang telah lama terhilang, rasa rindu ini pun muncul. Sebab dalam spiritualitas, rasa rindu ini bukanlah satu perasaan yang sengaja dimunculkan, tapi lebih kepada satu dorongan yang muncul oleh karena ada yang menggerakkannya. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana meresponi perasaan rindu ini. Meski perasaan rindu itu begitu menggelora dalam kalbu, namun bagi mereka yang sudah lama terhilang, perasaan rindu itu seolah tertutupi oleh satu benteng diri yang begitu kokoh – sehingga takut meresponi. “Benteng” tersebut seringkali berupa rasa bersalah kita, rasa malu, rasa berdosa kita dan rasa diri tak layak tuk kembali meresponi panggilan yang muncul dari rasa rindu tadi. Namun sangat disayangkan, orang model ini seringkali menutup diri dan justru menekan perasaan tadi dengan pembenaran diri bahwa dia memang tak layak. Banyak orang dengan mudahnya memberikan solusi kepada mereka ini agar minta ampun, dan mengakui setiap dosa yang telah diperbuat kepada Allah. Yang jadi persoalan bukanlah minta ampun dosa, tapi diri yang tak kuasa tuk minta ampun. Karena itu persoalan dirilah yang harus segera diselesaikan.

Tentang hal ini, dalam salah satu artikelnya, Pdt. Eka Darma Putera pernah mengatakan. Setiap kali kita berbuat dosa, maka ada tiga pihak yang kita sakiti: 1) diri sendiri; 2) Allah; 3) orang lain atau sesama kita. Berbuat dosa berarti menghianati ideal kita yang paling tinggi. Memperburuk citra kita yang terbaik. Menjadikan penampilan kita lebih jelek daripada seharusnya. Karena itu, berdosa adalah merugikan diri sendiri. karena itu akuilah dosa itu pertama kepada diri sendiri! Sebab tidak ada pengakuan dosa yang lebih tulus dan jujur daripada mengaku dengan sungguh-sungguh di dalam hati “ya, aku memang bersalah”.

Jujur pada diri merupakan sebuah awal yang tepat tuk melangkah maju menuju satu permohonan ampun yang ikhlas dan tulus kepada Allah dan sesama. Sebab adalah satu hal yang tak mudah untuk jujur terhadap diri. Karena memang seperti tak ada punish secara langsung yang dapat memberikan hukuman pada kita, tatkala kita tak jujur dengan diri. Meskipun rasa bersalah itu pun akan muncul tatkala diri dibohongi.

Mari kita belajar jujur pada diri, menyatu (manunggal) dengan diri. Berdamai dengan diri, tuk melangkah maju menembus “siksa” rasa malu dan bersalah, hingga kita dimampukan tuk mengaku diri berdosa, lalu jujur dihadapan Allah dan sesama. Kiranya Tuhan menguatkan kita, terus menggerakkan kita tuk berani jujur terhadap diri, Allah dan sesama. Dengan demikian pula, kiranya rindu yang menggelora itu pun kan segera terobati, dan kita kan terus merasakan rindu, rindu dan rindu lagi.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment