
Manusia memang tak bisa lepas dari apa yang dinamakan simbol. Berbagai hal disekitar kita pun banyak dalam bentuk simbol. Mulai dari yang berhubungan dengan seni, karya sastra, spiritualitas dll – semua berhubungan dengan simbol.
Bahkan bahasa yang kita gunakan sehari-hari, itu pun masuk dalam bagian simbol tadi.Protes umat katolik terhadap majalah Tempo – tentang persoalan cover bergambar Soeharto beserta keluarga dalam setting mirip perjamuan malam terakhir Yesus – beberapa waktu lalu membuktikan bahwa agama juga tak lepas, bahkan sangat dekat dengan apa yang dinamakan simbol. Meski gambar perjamuan itu hanyalah sekadar simbol, namun bagi umat katolik memiliki arti lebih yang memberikan banyak inspirasi dan satustimulus dalam spiritualitas umatnya. Karena itulah protes yang dilakukan itu pun merupakan hal yang wajar saja. Namun ada satu hal yang patut diacungi jempol dari tindak protes mereka. Sikap yang mereka tunjukkan terhadap sesuatu yang tidak diperkenan patutlah diteladani. Mereka (umat katolik) tak serta merta datang ke kantor majalah tempo lalu, mencaci maki, bahkan melakukan tindak anarkis yang membabi buta. Sangat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan beberapa organisasi masa berbasis ke agamaan yang sering bertindak anarkis itu. Umat katolik lebih mengedepankan sikap kekeluargaan dengan diskusi sebagai jalan penyelesaiannya.Dalam suatu agama, simbol seringkali “dikultuskan” dan diberi makna lebih, bahkan juga “didogmakan” bersama central interpretasi yang ketat – demi menjaga keutuhan makna simbol itu sendiri. karena itu tak heran jikalau kekuatan otot dan senjata seringkali digunakan demi menjaga keutuhan simbol dan maknanya. Sikap inilah yang seringkali ditunjukkan oleh mereka yang memegang teguh “agama simbol”. Suatu sikap beragama yang memandang agama sama dengan simbol agama, begitu pula sebaliknya, simbol agama “sama kualitasnya”, dalam artian selalu identik dengan agama itu sendiri. Dalam religiusitas yang memegang teguh “agama simbol” seringkali memandang agama tak jauh beda dengan budaya dan tradisi. Segala yang ada dalam agama dipandang sebagai suatu warisan masa lalu yang mengkristal hingga sampai saat ini. inilah yang sering dikenal dengan “ortodoks” . Karena itu tak heran, bagi mereka penganut “agama simbol” lebih berorientasi kepada konteks awal, atau jaman keemasan di masa lalu. Romantisme masa lalu selalu mengikat dan memikat tuk dikenang kembali di masa kini.Hukum cambuk, hukum “gigi ganti gigi”, arabisasi iman, dan westerinisasi teologi, merupakan produk dari “agama simbol” ini. lain halnya dengan mereka yang sekadar menghargai “simbol agama”. Para penganut ini percaya, atau setuju bahwa ada berbagai simbol dalam agama. Memang betul simbol itu seringkali juga dikultuskan. Tapi mereka yang menghargai simbol agama itu tak lantas menyamakan kualitas antara simbol dengan agamanya sendiri. Agama tetaplah agama yang memiliki satu kualitas lebih dibanding simbol – merupakan satu “identitas” bagi penganutnya – sedangkan simbol agama sendiri hanyalah sekadar unsur yang ada didalamnya, tak lebih.Agama itu berbeda dengan simbol agama. Agama adalah satu lembaga yang mengurusi, membimbing, menaungi umat yang ada dibawahnya, demi bertumbuhnya spiritualitas umat itu sendiri. selain itu, agama juga menjadi satu identitas bagi pemeluknya. Sedangkan simbol agama merupakan satu petunjuk, gambaran, abstraksi atau siluet dari agama yang an sich. Karena itu menganggap agama sama dengan simbol merupakan satu “pendustaan” terhadap agama itu sendiri. Simbol boleh saja menjadi jalan menuju agama, tapi tak boleh menyamai agama. Dengan bersikap seperti ini berarti kita telah menjauhkan diri dari cara pandang agama sebagai budaya dan warisan moyang saja. Tentunya juga akan berdampak kepada pembelaan simbol secara berlebih. Bahkan dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan kekerasan. Nyatanya, proteksi kuat terhadap simbol, sama sekali tak menjelaskan “kualitas” suatu agama, bahkan cenderung membahayakan.Slawi
0 comments:
Post a Comment