Sudah teramat sering kita mendengar kisah tentang bagaimana seorang penginjil yang dibuat malu oleh “target” penginjilan, lantaran si penginjil kurang atau bahkan hampir tak mengerti tentang apa yang sedang dia beritakan. Berita kebenaran yang seharusnya menggembirakan bagi si pendengar itu pada akhirnya justru menjadi satu pemicu bagi target PI untuk mempermalukan dan membuat sang penginjil menjadi “naik darah” – bahkan sampai terlibat perdebatan yang tak perlu. Mengapa ini harus terjadi? Apakah ini merupakan wujud dari satu exspresi iman yang menggebu – gebu dari dalam diri, yang minta tuk segera dilahirkan walaupun masih prematur? Apakah iman yang terekspresi itu tak perlu dibumbui dengan satu pengetahuan yang mantap, sehingga mengerti betul apa yang sedang iman ekspresikan?
Ada dua hal penting yang perlu disikapi. Pertama adalah persoalan iman dan yang ke dua adalah soal prematur. Apa itu prematur, sedikit banyak tentu kita semua sudah mengerti – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata prematur diberi arti dengan, belum (waktunya); belum masak (matang); belum cukup bulan. Sekarang yang menjadi persoalan dan banyak diperdebatkan adalah persoalan iman. Dalam kekristenan dinyatakan bahwa iman itu berasal dari Allah. Manusia takkan bisa beriman kalau tak ada Oknum yang menganugerahkan kepadanya. Iman bukanlah satu hal yang dapat di usahakan – walaupun disana terkesan ada unsur pilihan dari diri, yang sepertinya menunjukkan satu kehendak pribadi yang diusahakan. Allah juga menuntut agar iman itu tak hanya dipendam saja. Iman itu harus terekspresi dalam ranah sosial dimana kita hidup dan bermasyarakat. Intinya, iman itu tak sekadar dimiliki dan hanya kita sendiri yang tahu, tapi iman juga harus bisa dirasakan oleh orang sekitar.
Kembali ke persoalan ekspresi iman tadi. Meskipun dorongan iman membuat orang melakukan sesuatu – dengan harapan berbuahkan sesuatu nan indah dan berpengaruh ke masa depan kekekalan, tanpa menafikan intervensi Roh kudus – ekspresi iman pun perlu dibarengi dengan satu pembekalan diri yang matang dan mantap. Dalam hal ini satu pembelajaran perlu dilakukan sebagai pelengkap diri dalam mengekspresikan iman tadi. Tanpa satu pengetahuan tentang apa yang sedang diekspresikan, maka yang terjadi adalah satu tindakan yang membabi buta. Tak memikirkan apa yang bakal terjadi, atau malahan sengaja unjuk gigi dan malah menantang bahaya. Acap kali ekspresi iman spontan menjadi nyata dan datang dengan tiba-tiba, sepertinya tak perlu satu perencanaan yang panjang. Justru karena itulah satu pembelajaran yang mantap tentang ekspresi iman, salah satunya adalah PI tadi perlu dilakukan. Sebab dalam mengekspresikan iman tak hanya memerlukan satu dorongan, pengorbanan, dan semangat yang berkobar semata - tapi juga perlu sebuah pengetahuan yang cukup, khususnya dalam pelayanan PI. Untuk mengakomodasi kebutuhan ini banyak sekolah tinggi teologi atau gereja-gereja lokal telah membuat semacam kursus untuk membekali jemaat agar lebih bijak dan “mumpuni” tatkala mengekspresikan iman nanti. Dalam gereja kita juga sudah ada “Antiokhia Bible Scholl” (ABC) yang mewadahi keinginan umat, sekaligus membekali umat dengan pengetahuan yang mantap tentang kekristenan dan bagaimana mengekspresikan iman yang benar.
Ada begitu banyak ekspresi iman yang dapat dinyatakan – PI sendiri hanya satu diantara sekian banyak ekspresi iman yang harus dinyatakan. Namun bukan berarti ekspresi iman yang lain tak perlu sebuah pembelajaran dan pengetahuan. Nyatanya tak sedikit orang berdoa dan memuji Tuhan – yang juga ekspresi iman – dengan sembarang, semaunya sendiri, hanya bersumber dari “nafsu” pribadi – kata orang tak Alkitabiah lah. Untuk itulah gereja mewadahi kebutuhan ini dengan membuat ABC. Pada akhirnya, ekspresikanlah iman dengan tepat dan benar, dengan pengetahuan yang mumpuni, dalam intervensi Roh Kudus yang selalu membentengi.Slawi
0 comments:
Post a Comment