Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

“Mangan ora mangan asal ngumpul”

Beberapa waktu lalu tersiar kabar di berbagai media tentang satu keluarga yang mati karena kelaparan. Sang ibu beserta anaknya yang masih balita, juga bayi tujuh bulan diperutnya meninggal karena kelaparan – akibat tiga hari tak makan. Belum lagi satu anaknya yang lain tengah berjuang melawan maut di rumah sakit dengan penyebab yang sama. Daeng Basri, kepala keluarga yang tertimpa musibah ini pun tak bisa berbuat apa-apa. Bukanya dia tak mau bertanggungjawab dengan keluarganya, tapi penghasilannya yang tak lebih dari 10.000 rupiah perhari itu tak mampu menopang kehidupan Istri keempat orang anaknya itu. Sehingga tuk sekedar membeli beras pun rasanya amat sangat sulit. Tak jarang dalam sehari mereka hanya makan sekali saja, itupun sekadar bubur cair, dengan lauk seadanya. Tak heran kalau penyakit diare yang kebetulan diderita oleh istri dan anaknya itu, ditambah lagi kelemahan fisik akibat tak makan pun kemudian memicu meninggalnya anggota keluarga ini.

Lagi-lagi, menanyakan ini salah siapa, atau siapa yang patut dimintakan pertanggungan jawab tentang persoalan kemiskinan, seperti yang dialami oleh keluarga ini pun sepertinya juga sulit dijawab. Namun lebih sulit lagi diterima oleh akal, justru di era yang sudah maju seperti sekarang ini, yang katanya era tekhnologi canggih, masih saja ada orang yang meninggal karena tiga hari tak makan. Lebih parah lagi, dalam satu obrolan iseng masih ada orang yang tega-teganya nyletuk, “itu karena dia bukan kristen. Coba kalau kristen pasti Tuhan tak akan membiarkannya kelaparan, dan lalu mati”. Oalaaahh....!!! masih saja ada orang yang berpikiran sempit, dan sangat konvensional seperti ini. Bukanya sedih terharu atau trenyuh – minimal prihatin lah dengan keadaan mereka. Kok malah menyikapinya dengan pendekatan teologi yang kolot seperti itu. ckckcckc...!! Sungguh aneh, tapi juga nyata. Keluarga Daeng adalah “guru nyata”, sekaligus cambuk bagi kita dalam menjalani hidup.

Dengan menyimak, mendengar dan menyaksikan bagaimana Daeng hidup beserta keluarganya, lalu maut memisahkan mereka – sungguh teramat naif kalau kita tak memandang diri kita, lalu menyukuri keadaan kita sekarang ini. Nyatanya masih ada orang yang meninggal hanya gara-gara tak makan. Sungguh satu keadaan yang berbeda sama sekali dengan yang sedang kita jalani. Seharusnya dari peristiwa keluarga Daeng ini kita juga bisa melihat bahwa, untuk sekadar memberikan pelajar tentang ucapan syukur, biayanya amat sangat mahal, 3 “korban” nyawa yang melayang. Itulah misteri dibalik makna. Dalam segala sesuatu tersimpan makna yang sangat berharga untuk digali, dicermati dan dicerna, lalu dijadikkan konsumsi bagi diri. Mungkin kemelaratan merupakan satu hal yang dijauhi oleh banyak orang. Tapi dalam kemelaratan seringkali ditemukan satu nilai lebih yang termanifestasi dalam bentuk “pengorbanan” dan sikap nrimo (menerima) yang jauh lebih bermakna dari apa yang dinamakan harta. Disanalah Falsafah hidup “Mangan ora mangan asal ngumpul” – yang seringkali dianggap tak masuk akal oleh banyak orang itu dihidupi. Keluarga adalah satu anugrah besar yang patut disukuri.

Dalam keluarga ada penghargaan, keakraban, keharmonisan, dan cinta – yang jikalau diukur dengan ukuran nilai jauh lebih berharga dari sekadar materi “mangan” (makan) tadi. Namun demikian, tak sedikit juga orang lebih memilih mengejar materi daripada sebuah keluarga. Sehingga tak jarang hancurnya keluarga dipicu oleh kemelaratan. Mencintai keluarga adalah suatu keharusan. Dengan adanya cinta dan sikap penghargaan terhadap keluarga maka kita berjuang sekuat tenaga meraih materi demi kebahagian keluarga. Tapi mengejar materi lalu menafikan keluarga juga satu hal yang kurang terpuji. Kata orang-tua “jangan gadaikan keluarga, hanya karena harta”.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment