
Beranjak dari judul diatas, terdapat dua suku kata penting yang perlu terlebih dulu dipahami agar tak salah sangka nantinya. Istilah yang pertama adalah istilah Kristen. Seperti telah disinggung pada artikel sebelumnya, (Aku seorang Kristen?), istilah Kristen yang berasal dari bahasa Yunani Chresmatisai itu dipahami sebagai istilah ejekan yang menunjukkan suatu komunitas yang “terisolasi“ – yakni kumpulan pengikut Kristus. Sedangkan istilah yang kedua adalah istilah “Abangan”.
Istilah “Abangan” adalah satu istilah yang digunakan oleh Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika, untuk menunjukkan salah satu dari tiga varian budaya umat Islam yang mencerminkan stratifikasi sosial “rendah. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “Abangan” justru mengandung unsur negatif yang menunjukkan golongan masyarakat yang penganut Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan. Meskipun demikian dalam esai singkat kali ini, kita tidak sedang mempermasalahkan istilah “abangan” itu sendiri. Dan tentunya, tanpa bermaksud menafikan kompleksitas makna, terutama dalam hubungannya dengan budaya dan sinkretisitas, esai pendek ini akan mencoba “mengadopsi” istilah ini berdasarkan artiannya yang lebih umum yakni, menunjukkan suatu komunitas pemeluk Islam, yang “biasa-biasa” saja. Tak terlalu Rohani, tak pula jahat. “ya.. pokoknya hidup baik saja, tak usah terlalu fanatik dengan agama”. Berdasarkan artian umum diatas, kita selanjutnya dapat menilik kedalam, apakah dalam kekristenan juga ada istilah “abangan”? Jikalau ada, apakah “abangan” dalam Kristen adalah satau hal yang salah?
Jikalau ditanya adakah istilah “abangan” dalam Kristen, pasti jawabnya tidak ada. Selanjutnya, jikalau yang ditanyakan adalah, adakah orang “Kristen abangan”, bisa jadi ada, kalau itu didasarkan pada artian umum tadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya “jemaat tahunan” di gereja – jemaat suatu gereja yang hanya beribadah sekali atau dua kali dalam setahun, setiap natal dan paskah saja. Meskipun banyak orang “mencibir” pilihan, jemaat model ini, namun tindakan mereka bukan tidak beralasan. Umumnya pilihan mereka didasarkan pada pernyataan “untuk apa sering kegereja, toh Tingkah laku orang yang sering ke gereja tak jauh beda dengan saya yang hampir tak pernah kegereja kok”. Pernyataan seperti ini tak bisa disikapi dengan hanya menilai hal itu salah atau betul, sebab penilaian yang ada pastilah sangat subyektif. Ada banyak faktor yang dapat menjadi pemicunya. Namun sangat disayangkan, sebagian orang justru menyikapi hal ini dengan menghakimi (men-jastifikasi) mereka sebagai “pembangkang”, tanpa berpikir ulang mengapa mereka seperti itu. Meski dalam pernyataan mereka sepertinya terkandung unsur ketidak-puasan, tapi ada satu kebenaran yang juga tidak boleh disingkirkan begitu saja. Sebab siapakah yang dapat menjamin bahwa kuantitas aktifitas seseorang dalam “dunia rohani” dapat sekaligus mencerminkan kualitas kerohanianya? Siapakah yang dapat memastikan bahwa banyaknya jumlah nominal yang dikelurkan untuk pelayanan dapat sekaligus menunjukkan kualitas spiritual yang mantap? Meskipun demikian, menjauh dari “dunia rohani”, menjauh dari persekutuan dengan umat Tuhan ternyata bukanlah sesuatu yang dianjurkan, bahkan jenderung dilarang (Ibrani 10:25).
Menyikapi fenomena “Kristen abangan” ini hendaknya tidak sembarangan. Usaha pembiaran dan menganggapnya sebagai duri dalam sebuah komunitas kerohanian tentunya bukanlah kesimpulan yang bijak. Akan tetapi menanyakan kembali “Apa yang dapat kuperbuat”, mungkin bisa jadi adalah langkah awal yang lebih baik disamping panjangnya langkah terkemudian.Slawi
0 comments:
Post a Comment