
Dalam suatu dialog singkat antara seorang Kristen dan seorang penganut salah satu aliran kepercayaan, terlontar dua statemen yang saling berlawanan tentang bagaimana seharusnya beragama.
Si penganut aliran kepercayaan mengatakan, beragama itu bukanlah soal mengerti atau tidak mengerti, tapi beragama itu adalah soal “rasa” – Beragama itu soal bagaimana saya dapat merasakan nikmatnya berhubungan dengan Sang-Ilahi; bagaimana saya dapat merendahkan diri, hening dan menikmati mujizat Tuhan yang bekerja dalam hidup ini. Berbeda dengan itu, menurut Si Kristen, beragama itu tak melulu soal “rasa”, tapi juga soal “mengerti” apa yang kita percayai. Beragama juga soal bagaimana kita mempertanggungjawabkan apa yang kita mengerti itu.
Perbedaan tentang apa dan bagaimana beragama memang bukanlah persoalan baru. Persoalan seperti ini juga tidak hanya ada dalam ranah perbandingan antar agama atau kepercayaan. Dalam kekristenan sendiri persoalan seperti ini, ternyata masih saja hangat diperdebatkan. Benarkah agama itu soal “rasa”? Bisa jadi jawabnya adalah Ya, sebab beragama tanpa “rasa” tentu tak layak dinamakan agama. Tanpa “rasa”, beragama ibarat sayur tanpa garam (hambar). Tanpa “rasa”, beragama mirip seperti memandang hidangan yang sangat lezat di depan mata – yang membuat liur ini meleleh – tapi tak sekalipun pernah memegang, apalagi menikmatinya. Akan tetapi, benarkah beragama itu hanya soal “rasa”? Jikalau beragama hanya melulu soal “rasa”, apakah tak ada tuntutan sama sekali untuk “mengerti” apa yang dirasakan? Nyatanya beragama bukanlah seperti memegang suatu benda atau alat, tapi tak tahu-menahu tentang alat apa yang sedang dipegang. Beragama juga tidak sekedar tahu apa yang sedang dipegang, tapi juga mengerti apa manfaat, dari mana berasal, dan bagaimana menggunakan alat itu. Karena itu beragama adalah juga soal mempertanggungjawabkan apa yang dihidupi dan dipercayai itu.
Kedua pendapat tentang beragama itu memang ada benarnya, namun keduanya pun tetap saja memiliki kelemahan. Misalnya saja seperti pendapat pertama yang melulu berbicara tentang “rasa”, ada satu hal yang seringkali terlewatkan dari penganut model ini. Kehidupan keberagamaan model ini umumnya hanya terfokus pada diri dengan pengalaman pribadinya besama Sang Khalik. Bagi penganut model ini, semakin mendekatkan diri dengan Sang Khalik, berarti juga harus semakin menjauh dari dunia. Artinya, dalam ranah sosial ternyata manifestasi dari keberagamaannya tak dapat terlihat apa lagi dinikmati oleh orang sekitarnya.
Begitu juga dengan model satu lagi yang mengagungkan soal “mengerti” tadi. Seringkali model ini juga terjebak dengan tuntutan pengajaran dan klaim subyektif tentang doktrin yang dianut. Sehingga lagi-lagi ranah sosial pun terlupakan. Dan ternyata kebanggaan pada pengertian dan doktrin yang dianut tak sejalan dengan kehidupan sosial yang harus dijalaninya. Klaim bahwa doktrin yang dianut dapat ia pertanggungjawabkan secara penuh rupanya tak sekaligus menjamin kualitas buah yang keluar.
Memilih model keberagamaan mana yang benar dari sekian model yang ada ternyata tidak mudah. Akan tetapi, secara tersirat Yesus pernah memberikan satu rujukan tentang bagaimana hidup beragama yang ideal. Yakni model beragama yang tidak hanya berorientasi pada hubungan khusus dengan Allah (vertikal), tapi juga mampu mengekspresikan kasih dan keintiman tersebut dalam ranah sosial (horizontal) yang dapat dinikmati oleh sesama sebagai buahnya.Slawi
0 comments:
Post a Comment