BAGI sebagian orang, mati merupakan satu kata yang sangat menakutkan. Satu kata yang kalau boleh, disebut pun jangan (pamali). Namun bagi beberapa orang lagi, mati merupakan suatu bentuk “kenikmatan”. Sebab disanalah nyata jawaban dari segala macam tanda tanya tentang “dunia baru” setelah berakhirnya kehidupan yang singkat ini.
Kedua respon diatas meskipun kontradiktif namun keduanya adalah satu respon yang wajar. Karena itu memandangnya dalam tataran kewajaran mutlak perlu. Yang menjadi persoalanynya sebenarnya justru terletak pada soal stigma yang melekat pada kedua pendapat diatas. Dan stigma tersebut biasanya juga erat kaitannya dengan persoalan iman. Orang yang takut mati dianggap masih perlu disangsikan imannya, dan sebaliknya, mereka yang “menikmati” kematian, umumnya justru dipandang sebagai orang yang sudah sangat siap dan tentunya memiliki level iman lebih dibanding yang takut. Mungkin terasa sangat menggelikan. Persoalan kematian kok dihubung-hubungkan dengan tingkatan iman. Tapi memang begitulah yang terjadi.
Benarkah persoalan kematian adalah persoalan yang juga terkait dengan persoalan iman? Berdosakah seandainya saya takut mati??? Salahkah saya percaya bahwa mati itu tak perlu ditakutkan? Dalam kamus besar bahasa indonesia kata mati atau kematian di artikan sebagai sudah hilang nyawa, tidak hidup lagi, dan tidak bergerak lagi. Artinya mati merupakan satu fase dimana seseorang kehilangan nyawanya dan kesempatannya untuk hidup. Mati atau kematian bukanlah satu “benda” atau satuan yang dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menakar iman seseorang. Mati dan kematian juga tak bisa dijadikan sebagai ajang untuk unjuk iman. Akan tetapi, mati adalah suatu proses yang harus dilalui dalam keseluruhan “hidup” yang dijalani. Entah mau atau tidak, siap atau tidak, takaut atau tidak, beriman atau tidak, toh itu hanyalah respon, dan mati sendiri tak mungkin berhenti. Karena itu mati biarlah tetap menjadi mati. Mati tak perlu “ber-evolusi”. Biarlah mati tetap seperti apa adanya.
Dengan demikian stigma bagi “si-aku takut mati” sebagai kurang beriman mengkin kurang tepat. Sebab takut adalah satu pokok bahasan soal rasa. Rasa yang didapat akibat satu atau beberapa hal yang menjadi faktor munculnya rasa takut tadi, termasuk persoalan nalar-spiritual. Meski demikian pendapat bahwa “si aku takut” sebagai kurang beriman mungkin juga ada kebenarannya. Sebab siapa pun yang telah berjumpa Yesus, menyerahkan diri secara pribadi, sudah menjadi suatu keharusan percaya (mengimani) janji-janjinya sebagai kebenaran, termasuk janji akan kehidupan kekal di surga nanti. Dengan demikian kematian ternyata Cuma satu bagian saja dari seluruh proses menuju hidup kekal yang dijanjikan yesus. Lantas untuk apa ditakutkan.
Begitu juga dengan stigma terhadap “si-tak takut mati”. Mengatakan “si-tak takut mati” terlalu narsis atau terlalu percaya diri mungkin adalah satu hal yang kurang pas. Sebab yang mereka sedang kerjakan adalah juga apa yang selama iuni mereka yakini. Karena itu itu menurut mereka itu adalah tindakan yang pas dengan apa yang mereka yakini. Meskipun demikian tuduhan terhadap “si-tak takut mati” bisa jadi ada unsur benarnya. Sebab segala sesuatu yang diperbincangkan dan diyakini merupakan satu hal yang belum diketahui (belum terjadi), gelap dan abstrak. Mungkin selama ini yang dapat dilakukan adalah semata untuk jalan selangkah demi selangkah, meraba-raba, dan merasakan apa yang belum pernah dilihat dan dijumpai. Dengan demikian apa yang telah dilakukan “si-aku takut mati” merupakan satu hal yang dapat dipertanggungjawabkan, sebab memang dia sadar di bukan Tuhan yang dapat memastikan segala sesuatu yang akan terjadi. Biarlah segala apa yang ada nun jauh disana dikembalikan pada-ya, dalam kemaha kuasaaannya..Slawi
0 comments:
Post a Comment