
Dewasa ini agama sering kali diidentikkan dengan suatu sistem peraturan yang mengatur hidup umat atau penganutnya yang sifatnya normatif dan mengekang. Meskipun pengindetikan ini sedikit kurang tepat, namun bukan berarti salah. Sebab realitanya memang ada berbagai macam peraturan yang ditujukan untuk mengatur, membatasi dan memberikan pedoman dalam menjalani hidup bagi umat penganut suatu agama, termasuk Kristen.
Yang menjadi persoalannya adalah, peraturan-peraturan yang disodorkan seringkali saklek “ya memang seperti itu adanya”, sehingga alasan mengapa ini salah, atau mengapa itu salah, justru kurang jelas dan sepertinya jarang disinggung. Hal inilah yang seringkali menjadi alasan bagi penganutnya untuk mengulang kesalahan yang sama atau bahkan sengaja menabraknya.
Penafsiran yang sangat lentur bak karet yang sangat elastis itu justru menjadi semacam senjata untuk memberikan pembenaran terhadap ketidakjelasan hukum dari apa yang telah dilakukan. Sebut saja persoalan rokok. Nyata bahwa ada berbagai macam penafsiran tentang persoalan ini. Mulai dengan yang sangat radikal – mengklaim merokok adalah tindakan dosa, dengan hanya berdasarkan satu atau dua ayat yang bisa saja konteksnya tidak sedang berbicara tentang itu – sampai dengan yang mencoba elegan dengan mendekatinya atau mengarahkannya pada persoalan etika-normatif. Mana yang benar diantaranya, tentu saja sulit menentukan. Sebab keduanya memang memiliki pendekatan dan pra-anggapan tersendiri dalam menafsirkannya, dan tentunya ada “maksud khusus” atau kepentingan etis sebagai pertimbangannya.
Membincangkan agama ternyata tak sama dengan hanya membincangkan persoalan normatif semata. Ada banyak unsur yang ada dalam suatu agama. Etika normatif nyatanya hanya segelintir unsur dibalik jamaknya unsur lainnya. Karena itu anggapan bahwa “agama = etika normatif” adalah kurang tepat. Selain itu sesuatu yang normatif umumnya adalah semacam bentukan tradisi atau kristalisasi suatu ajaran yang terus dihidupi dan menggelinding hingga kini. Inilah yang menjadi persoalan sebab peraturan-normatif bentukan tradisi tersebut akan sulit diterima jikalau bunyinya hanya ini boleh dan ini tidak boleh. Padahal kini jamannya sudah berbeda, kini jaman telah berevolusi, dari yang hanya menerima iya atau tidak menjadi mengapa ini, dan mengapa itu.
Ini merupakan tantangan bagi gereja. Peraturan dalam suatu agama ternyata tidak dapat hanya sekedar dikatakan pokoknya ini atau pokoknya itu tapi penjelasannya. Dengan demikian peraturan menjadi peraturan yang bersifat terbuka, rasional dan tentunya tidak saklek. Peraturan akan diterima atau ditolak sekalipun, bukan karena terpaksa. Peraturan akan diterima dengan terbuka karena memang itu adalah hasil pilihan dan bukan karena tekanan atau paksaan.
Sejak manusia dilahirkan kedunia, Allah telah memberikan satu “kebebasan” kepada manusia. kebebasan tersebut juga harus dihargai karena memang itu adalah suatu anugrah khusus yang diberikan Allah kepada manusia. Dan siapakah yang akan menghargainya kalau bukan manusia sendiri. Menyodorkan suatu peraturan dengan mengetengahkan alasan mengapa peraturan itu dimunculkan, hal itu merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap kebebasan manusia disamping dapat membuka nalar untuk berkerja sebelum secara sadar menerima. Meskipun demikian segala pilihan adalah pilihan yang mengandung unsur pertanggungan jawab. Karena itu siapkanlah diri untuk mempertanggungjawabkannya, sebab tanggungjawab adalah bagian dari kebebasan. Slawi
0 comments:
Post a Comment