Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

ANTARA MAZAB DAN IDENTITAS


Dalam suatu dialog yang membahas tentang doktrin penyelamatan Allah, muncul beberapa orang yang terlihat sangat antusias bertanya tentang bagaimana cara Tuhan menyelamatkan manusia. Yang menarik dari si penanya itu adalah, kebanggaan mereka terhadap mazab dalam teologi kristen yang dianutnya. Ini terlihat dari pertanyaan si penanya yang selalu dibuka dengan memperkenalkan diri sekaligus Mazab yang dianutnya.

Saya orang Armenian...., saya seorang Calvinis...., saya seorang Wesleyan.... dll. Menariknya lagi, sepanjang diskusi berjalan, pengikut dari setiap mazab itu selalu mengklaim mazabnya yang paling benar; mazabnya yang paling alkitabiah; diluar mazabnya pasti salah, atau keliru. Mirip seperti penjual kecap yang tak pernah bilang bahwa kecapnya no2,3,4 atau 5, pasti kecapnya adalah kecap nomor wahid. Anehnya dari semua yang mengklaim bahwa doktrinnya paling benar hampir tidak ada yang menyatakan bahwa alkitab paling benar. Padahal teologi merupakan sistematisasi ajaran yang bersumber dari alkitab. Kalaupun ada yang menyinggung tentang alkitab, itu pun sebenarnya hanya bagian dari sistematisasi tadi. Jadi dalam hal ini, klaim terhadap doktrin tentang alkitab sebagai objek menjadi lebih utama dibanding klaim terhadap alkitab.

Mengidentifikasikan diri kedalam mazab atau ajaran tertentu bukanlah suatu kesalahan. Menyebut diri sebagai aku orang reformed, aku orang armenian, dan aku orang wesleyan juga merupakan hal lumrah. Yang menjadi persoalan adalah, seringkali pengidentifikasian tersebut di upayakan hanya demi satu bentuk eksistensi dan identitas semata, lain tidak. jikalau hal ini benar adanya maka sungguh sangat disayangkan. Sebab mazab ternyata tak lagi menjadi suatu sistematika pengajaran yang dihidupi oleh pengikutnya, tapi justru menjadi sebuah lembaga yang mampu memberikan legalitas dan identitas juga tiket menuju kebenaran alkitabiah.

Mazab telah berevolusi menjadi sebuah tempat dimana banyak orang menggantungkan hidupnya dan rasionalitasnya sehingga, nalar kritis dari umat (pengikutnya) menjadi terpasung. Yang ada hanya kata ya, benar, pasti dan percaya. Tak ada lagi kata tanya benarkah, mungkinkah, mengapa, bagaimana? Semua menjadi gelap mata. Meskipun pengidentifikasian diri adalah hal yang normal, tapi jikalau akibatnya seperti ini maka hal itu tentunya perlu dipertimbangkan ulang.

Karena itu memposisikan suatu mazab ke dalam posisi yang sebenarnya sebagai satu varian atau model sistematitasasi berpikir merupakan langkah awal yang tepat. Dengan memposisikan mazab pada tempatnya, 1) berarti kita juga akan semakin dapat menghargai eksistensi mazab yang lain; 2) dengan memegang satu mazab tertentu tidak sama dengan saya mati-matian membelanya; 3 dengan bergabungnya saya dengan azab tertentu, saya masih tetap dapat kritits dalam menyambut setiap gagasan dan pengajaran yang disampaikan.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment