Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29)
Siapakah yang disebuat sebagai sesama kita itu? Jawaban atas pertanyaan ini adalah kunci bagi kita untuk melihat orang lain sebagai mahkluk ciptaan Allah yang mulia dan bermartabat.
Allah menciptakan manusia menurut “rupa” dan “gambar” Allah sendiri (Kej 1:26). Teologi ini patut diterima sepenuhnya, bahwa manusia diciptakan berbeda dari semua ciptaan Allah lainnya di muka bumi ini maupun jagad
semesta alam. Keilahian manusia nampak karena Allahlah yang memberi “nafas hidup” (Kej 2:7). Manusia dijadikan “hampir sama seperti allah” (Mzm 8:6). Dengan mengutip Mazmur 82:6, “Kamu adalah allah dan anak-anak Yang Mahatinggi”, Tuhan Yesus menyebut manusia sebagai “allah” (Yoh 10:34). Hal yang sama juga diutarakan oleh filsuf Yunani, Epikuros dan Stoa, bahwa manusia dianggap sebagai “keturunan Allah” (Kis 17:28-29).
Status yang berbeda itulah yang mengharuskan kita melihat sesama kita dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Menghargai dan menghormati sesama manusia adalah sama dengan menghargai dan menghormati Penciptanya. Memperlakukan sesama kita dengan tidak semestinya dan semena-mena adalah sama dengan “menghina Penciptanya” (Ams 14:31; 17:5). Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa “siapa yang menghina sesamanya telah berbuat dosa” (Ams 14:21).
Ketidaktahuan kita tentang hakikat manusia sebagai ciptaan Allah seringkali membuat kita tidak dapat memperlakukan sesama kita dengan lebih baik. Kita sering bermasalah dengan sesama kita karena kita melihat sesama kita hanya dari apa yang nampak dalam karakter dan perilakunya saja tanpa bisa melihat hakikat dan eksistensinya sebagai pribadi ciptaan Allah.
Anggapan yang salah tentang orang lain sebagai “sesama manusia” menyebabkan kita tidak dapat menempatkan orang lain sebagai subyek tetapi melulu sebagai obyek. Kita hanya bisa melihat sesama kita dengan baik apabila kita dapat melihat Allah di dalamnya.
0 comments:
Post a Comment