Renungan:
Edisi 22 Pebruari 2009
“Bangsa itu bersukacita karena kerelaan mereka masing-masing, sebab dengan tulus hati mereka memberikan persembahan kepada Tuhan; juga raja Daud sangat bersukacita” (1 Taw 29:9)
Memberi persembahan kepada Tuhan merupakan bagian yang penting dan utama dalam ibadah Israel. Apokrifa Yesus bin Sirakh 14:11 berkata: “Anakku, apabila ada milik hendaklah baik memelihara dirimu, tetapi juga sampaikanlah persembahyan yang patut kepada Tuhan.” “Jangan tampil di hadirat Tuhan dengan tangan kosong, sebab semuanya wajib menurut perintah…Sertakanlah muka yang riang dengan segala pemberianmu, dan bagian sepersepuluh hendaklah kaukuduskan dengan sukahati. Berikanlah kepada Yang Mahatinggi berpadanan dengan apa yang Ia berikan kepadamu, dengan murah hati dan sesuai dengan hasil tanganmu. Sebab Dia itu Tuhan pembalas, dan engkau akan dibalas-Nya dengan tujuh lipat” (Sirakh 35:4,8-10).
Sejalan dengan itu, Tuhan memberi perintah dan ketetapan ini, “…janganlah orang-orang menghadap ke hadirat-Ku dengan tangan hampa” (Kel 23:15 lihat Ul 16:16). Karena memberi persembahan dan persepuluhan adalah ketetapan yang dibuat Tuhan, maka setiap orang Israel harus dengan sukacita memberikan persembahan mereka sebagai wujud kataatan mereka kepada Tuhan.
Hambatan yang kerap muncul ketika kita memberi persembahan dan persepuluhan adalah karena: (1) kita menganggap bahwa pemberian itu bukan kepada Tuhan atau karena memberi kepada Tuhan bukanlah perintah utama dan mendesak untuk dilakukan sehingga kita cenderung menundanya atau mengabaikannya, (2) pertimbangan ekonomi kita yang selalu kekurangan, (3) penyelewengan uang yang dilakukan pengurus gereja.
Membangun kebiasaan memberi persembahan kepada Tuhan memiliki tujuan yang signifikan dalam membentuk karakter kita, sehingga kita sehat dalam iman, pengharapan dan kasih. Di sinilah ketaatan kita kepada Tuhan dan orientasi hidup atas kepemilikan kita sedang diuji. Tuhan pasti membalas setiap pemberian kita adalah hal penting dalam pokok iman kita. Oleh sebab itu, keberhasilan kita dalam melakukan segala perintah dan ketetapan Tuhan mendorong kita untuk bersukacita di dalamnya (2 Kor 9:6-15).
Pembelajaran Iman Jemaat
Memaknai Kecemasan
Ayat Bacaan: Ayub 3:25-26
Kecemasan muncul karena kesalahan seseorang pada masa lalu (lih Luk 9:7 bnd Kis 5:24), atau karena kekuatiran hidup di masa depan (lih Luk 12:29). Kecemasan dapat terjadi karena sesuatu yang dimilikinya ada dalam ancaman, seperti dalam hal ‘kelebihan harta’ (Ams 15:16). Peringatan Tuhan Yesus bahwa pada akhir zaman banyak orang akan mati karena cemas (Luk 21:26).
Pandangan eksistensial tentang psikopatologi, kecemasan dianggap sebagai syarat hidup. Kecemasan adalah karakteristik dasar manusia. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih. Kecemasan merupakan sumber pertumbuhan, karena dapat meningkatkan kesadaran seseorang atas konsekuensi-konsekuensi hidup sekaligus sebagai reaksi terhadap ancaman. Kecemasan adalah apa yang dirasakan ketika keberadaan diri terancam.
Kecemasan muncul karena perasaan bersalah apabila gagal mengaktualkan potensi-potensi diri. Kecemasan merupakan sinyal bagi seseorang untuk melihat dirinya sendiri, sekaligus memungkinkannya dapat mengaktualisasikan potensi-potensi dan alternatif-alternatif dengan segala pilihan-pilihan dan konsekuensi-konsekuensi hidup.
Dalam psikoanalitik, kecemasan dipahami sebagai keadaan tegang yang memotivasi seseorang untuk berbuat sesuatu. Kecemasan berfungsi memperingatkan adanya ancaman bahaya. Berdasar hal itu, maka kecemasan di bagi dalam tiga macam: kecemasan realistis, kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia internal, dan taraf kecemasan sesuai dengan derajat ancaman yang ada. Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi diri sendiri. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Orang yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila ia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
Raja Saul mengalami kecemasan karena takut ancaman Goliat (1 Sam 17:11); ia juga cemas karena kurang mendapat dukungan rakyatnya (1 Sam 22:8) sehingga Daud dianggap sebagai ancaman bagi dirinya. Dari sini kita dapat melihat bahwa tidak terkendalinya kecemasan dapat menyebabkan seseorang bersikap negatif dan mengancam orang lain.
Bagi Daud, kecemasan ternyata dapat memotivasi dirinya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Mzm 55:17-18). Keyakinan bahwa Tuhan pasti akan ‘melepaskan’ (ayat 6), ‘mengeluarkan’ (ayat 28) umat-Nya dari kecemasan, menjadi pokok puji-pujian dalam Mazmur 107. Di pihak lain, kecemasan merupakan alat untuk membawa seseorang pada pengakuan iman yang benar kepada Allah (bnd Yeh 12:18-20). Kecemasan muncul sebagai wujud pernyataan kasih seorang Hamba Tuhan kepada orang-orang yang dilayaninya (2 Kor 2:4).
Diskusikan dan sharingkan:
1. Pokok berita apakah yang Alkitab hendak sampaikan berkenaan dengan kecemasan?
2. Sikap seperti apakah yang seharusnya kita lakukan padaa saat cemas? Carilah penyebab mengapa kita seringkali cemas?
3. Bedakan antara kecemasan negatif dan kecemasan positif menurut firman Tuhan!
_____________________________________________________________________
Refleksi Minggu Ini:
Seseorang yang memahami kehadirannya di tengah-tengah orang lain adalah orang yang berjiwa pemimpin.
Self Purpose:
Sudahkah Anda menjadi sorotan orang lain bahwa Anda adalah ‘orang penting’ karena kehadiran Anda?
0 comments:
Post a Comment