Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

Stigmata bukan monopoli Yesus


“Salibkan dia…. Salibkan dia…salibkan dia….”
Dengan ekspresi kekesalan dan kebencian yang teramat dalam, cacian, olokan, dan makian tak henti-hentinya menghujani aksi demo hari itu. Dengan tuduhan penistaan terhadap agama, massa yang sudah muak dan kelelahan akibat sudah sekian lama menunggu itu pun menuntut agar anak tukang kayu itu – selaku tersangka – diberi ganjaran hukuman yang seberat-beratnya. “Salib” adalah satu kata yang tepat untuk kesalahan yang telah dibuat-Nya.Tak sepatah kata penolakan pun keluar dari mulut pemuda “putra sulung” pasangan Maria dan Yusuf itu. Meskipun Yesus, begitulah ia biasa dipanggil, mampu menolak dan melawannya, namun hal itu tak dilakukannya. Bahkan dengan rasa nrimo dan legowo hukuman itu Yesus terima. Cambuk bergigi tajam yang merobek kulit Yesus tampak menimbulkan luka merah menganga diikuti darah segar mengucur dari tubuh-Nya, itu pun tak lantas membuat Ia mendemonstrasikan kekuatan yang dimiliki-Nya demi menghacurkan satu demi satu orang yang telah memfitnah diri-Nya.

Tak hanya itu, tatkala tubuh Yesus direntangkan di atas kayu salib yang teramat kasar, diikuti dengan mata paku yang perlahan ditancapkan di kedua tangan dan kakinya, serta sesekali semburan ludah pendemo pun turut berperan sebagai bagian “hiasan” ekspresi sinis mereka, tak pernah sepatah kata makian pun keluar dari mulut Pria yang kelahirannya biasa diperingati setiap akhir tahun ini.

Penggalan kisah yang membakar emosi ini telah divisualisasikan dengan apik dan “nyaris sempurna” oleh sutradara top kelas dunia, Mel Gibson, lewat film “The Passion Of Christ”. Gambaran betapa perih dan getirnya penderitaan Yesus, dengan luka-luka yang diderita akibat siksaan yang diterimanya, seolah dapat dirasakan sendiri oleh penonton hingga membuat mereka impulsif – di tandai dengan linangan titik air di ujung mata pemirsa, meski hal itu tak nyata dialami oleh mereka.
Penderitaan yang Yesus alami adalah penderitaan karena pengorbanan-Nya bagi umat manusia. Tak ada yang dapat menyamai apa yang telah Yesus lakukan. Bahkan stigmata (luka yang dialami-Nya), pun seolah menjadi tanda kebesaran kasih-Nya bagi dunia.

Meski stigmata yang muncul akibat siksaan dan penyaliban yang Yesus alami sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, namun fenomenanya masih termanifestasi hingga saat ini. Stigmata – simbol kebesaran pengorbanan Kristus itu, seolah tak lagi eksklusif hanya bagi Diri-Nya. Kini stigmata bukan lagi monopoli Yesus. Klaim bahwa “anak-anak-Nya” pun memperoleh “karunia yang sama” – untuk merasakan “nikmat” penderitaan ilahi – tak lagi asing ditelinga kita. Ada sekian nama yang mengklaim pernah mengalaminya, salah satunya adalah St. Fransicus Xaverius – yang secara tak sengaja, di tubuhnya muncul luka-luka yang mirip dengan stigmata Yesus, yang timbul di hari-hari tertentu. Baginya hal itu merupakan anugerah khusus yang diberikan oleh Tuhan padanya.

Tak hanya karena “kebetulan”, di Filipina ada sekelompok orang secara sengaja disalibkan demi merasakan stigmata penderitaan Yesus. Seolah askese yang mereka jalankan telah membawa mereka ke masa kala Yesus disalib. Ini bukanlah suatu bentuk “narsisme” (bangga diri) pelakunya, dengan memposisikan diri dalam level spiritual tertentu. Namun bagian dari ekspresi spiritualitas mereka.

Di kalangan protestan hal ini memang masih sangat kontroversial, namun fenomena stigmata adalah fenomena yang menarik untuk terus dikaji. Dan satu hal yang sangat “indah” jikalau seseorang memperoleh anugerah untuk dapat merasakan apa yang Yesus rasakan. Kiranya anugerah itu pun membawa penerimanya kepada progresivitas spiritual yang di divisualisasi dalam kehidupan nyata, dalam kaitan dengan kedekatan persekutuannya dengan Tuhan, sekaligus membawa kemuliaan nama-Nya di tengah-tengah dunia.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment