Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, January 5, 2011

“Masalahku Tanggung Jawab Tuhan”

Sebuah Refleksi Pribadi Awal Tahun 2011

Saat ini kita sedang ada di awal tahun 2011. Tahun baru, awal tahun dengan resolusi yang segar, ditambah semangat yang masih membara untuk menjalani komitmen yang dibuat. Diawal tahun seperti ini orang terlihat lebih bijak. Tak heran, evaluasi tahunan terhadap diri baru saja dilakukan, harapan untuk tidak mengulangi hal negatif yang sama pun masih hangat diingatan. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan?

Apakah orang hanya bijak saat di awal tahun baru, lalu di bulan-bulan selanjutnya berubah sama sekali? Tentu saja tidak, dan hal ini sangat tidak diharapkan. Kalaupun terjadi tentu saja dapat dimaklumi – kata orang, bagian dari dinamika hidup. Kendati demikian, idealnya orang harus terus bijak dan evaluasi diri harus terus dilakukan hari demi hari. Tapi bukan soal mudah menjalani ini semua.

Saat kembali jatuh, atau menghadapi masalah sulit kita kerap meminta agar Tuhan cepat menolong, tentu saja ini pun tidak instant. Lantaran dianggap lama menjawab, tak jarang orang menyangka Tuhan abai terhadapnya – atau parahnya justru marah dan mengutuki Tuhan, dengan asumsi, segala masalah yang menimpa, seharusnya adalah tanggung jawab Tuhan.

Ini bukan tidak pernah terjadi, sebuah Studi yang dipublikasikan dalam Jurnal Kepribadian dan Psikologi Sosial menyebutkan, kemarahan terhadap Tuhan kerap diekspresikan baik oleh mereka yang mengaku Kristen atau yang tidak percaya dan mempertanyakan eksistensi Tuhan sekalipun. Dalam study tersebut dijelaskan secara personal keduanya memiliki cara-cara yang hampir sama dalam mengungkapkan kemarahan mereka kepada Tuhan, saat menghadapi masalah sulit. Bedanya, emosi mereka yang menyangkali keberadaan Tuhan jauh lebih besar ketimbang individu yang percaya terhadap Tuhan. Ironisnya, hal ini justru kerap dilakukan oleh orang muda. Study tersebut menemukan, alasan utama kemarahan individu terhadap Tuhan umumnya disebabkan adanya hubungan sosial mereka dan asumsi-asumsi personal bahwa Tuhan harus bertanggung jawab atas hal buruk yang menimpa mereka.

Yang menjadi persoalan bukan Tuhan tidak menjawab doa, atau Tuhan absent dalam pemeliharaan, tapi yang kerap terjadi adalah, kita yang kurang menyadari jawaban dari Tuhan. Meminjam kalimat Mario Teguh, Tuhan memberi potensi bukan barang jadi. Misalnya jika orang meminta kesabaran pada Tuhan, maka tidak serta merta kesabaran langsung datang secara Instant, tapi tidak menutup kemungkinan Tuhan justru memberi masalah sebagai jalan agar umatnya dapat bersabar. Tinggal bagaimana orang menyikapi masalah tersebut.

Masalah nyatanya tidak selalu harus diartikan beban berat yang harus ditanggung. Di tangan Tuhan, masalah pun bisa dipakai sebagai cara untuk menjawab doa umat-Nya; Masalah bisa digunakan menjadi "potensi diri" dalam sebuah progres terkait harapan tertentu. Masalah adalah bagian dari proses menjadi atau menuju sesuatu yang kerap mengarah pada progres yang baik. Karena itulah mendekati masalah tidak selayaknya melulu dengan cara negatif.

Tahun baru memang menjadi awal bagi spirit baru menjalani hidup. Namun demikian, jika kelak muncul persoalan yang berat, hendaklah tidak terburu-buru meminta pertanggungjawaban Tuhan, atas masalah tersebut, apalagi sampai marah dan mengutuki Tuhan. Kiranya tahun baru menjadi awal bagi regularitas refleksi terhadap diri. Sulit memang, atau mungkin saja terkesan hanya klise dan tak lebih dari sekadar teori, kendati demikian bukan berarti tak pantas dijadikan sarana bagi ingatan diri. Biarlah segala hal, termasuk masalah sekalipun dapat menjadi sarana bagi kita mencicip makna dan nilai hidup dari Allah. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment