Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, January 3, 2011

Kristen “Anak Bawang”

Dijaman yang sudah maju seperti sekarang ini, banyak orang menyibukkan dirinya dengan berbagai aktifitas yang membuatnya lupa untuk bersosialisasi dan membaur dengan sesama.

Hal ini tentunya tidak bisa dipersoalkan ini salah siapa atau ini dosa siapa, sebab semuanya itu adalah tuntutan hidup yang harus dijalani. Sehingga berangkat kerja di pagi buta, kemudian pulang di petang bahkan di malam hari, itu sudah menjadi santapan harian. Namun demikian ditengah tengah sibuk dan hiruk-pikuknya kehidupan sehari-hari, di ujung sana ternyata masih ada sekumpulan orang yang mungkin tak terlirik sedikitpun oleh mata kita. Beberapa orang yang sepanjang hari hidupnya diliputi dengan keluh kesah, apatis, dan tak jarang sebuah kesedihan – meskipun itu tak ditampakkannya.

Mereka adalah kumpulan orang-orang yang telah merelakan dirinya meresponi panggilan Tuhan dan akan mengabdikan diri bagi Tuhan dan pekerjaannya, namun ditengah jalan seolah goyah dengan apa yang dilihatnya. Apa yang dia bayangkan, yang dipelajari dan dihayati selama di bangku kuliah nyatanya justru sangat kontras dengan apa yang dia hadapi dilapangan. Alhasil, hidupnya pun menjadi goyah, gontai tak terarah.

Tak perlu menanyakan siapa yang salah. Tak perlu pula menyudutkannya dengan apa yang telah diperbuatnya. Yang jelas teori yang dia pelajari nyatanya tak sejalan dengan pengalaman empiriknya. Bukankah apa yang dinamakan ilmiah dan layak disebut pengetahuan (mungkin termasuk teologi) adalah apabila teori klop (sejalan) dengan pengalaman dan kehidupan nyata yang dialami. Bila teori yang dipelajari itu tak sejalan dengan pengalaman, maka pantas saja “si pembelot” tadi menyangsikan apa yang dipelajari selama ini. Belum lagi mempersoalkan kenyataan yang dilihatnya dari sikap para pelayan yang seringkali berbeda tatkala berada di dalam gereja, dengan segala kebijaksanaan, kewibawaan dan senyum sumringahnya – dengan tatkala berada diluar gedung gereja.

Meskipun demikian untuk sekadar memberikan pembenaran terhadap pembelotaannya, model orang seperti ini kadang kala juga tak ada nyali. Mungkin saja karena hidup mereka ini telah dependent (bergantung) sepenuhnya – dengan segala kenyamannanya – sehingga untuk sedikit bergeser dari tempat duduknya itu pun dia tak berani. Karena itulah banyak orang model ini berprinsip, tak mengapa menjadi “kristen anak bawang” - ikut-ikutan saja, dari pada harus lari dan menjadi “hambanya setan” dengan menyangkali Tuhan.

Walaupun mereka tahu konsekuensi memilih hidup dan bersikap seperti ini adalah harus rela hidup diwarnai dengan “kemunafikan”. Sedikit menanyakan kembali peran gereja sebagai pemelihara dan pengayom serta tempat berlindung bagi seluruh dombanya, tak inginkah gereja sedikit melirik mereka yang seperti ini. Ataukah ini bukanlah tanggung jawab gereja? Oh mungkin saja itu tangung jawab dari almamater yang meluluskan orang-orang model ini, karena itu tanggung jawabnya secara tidak langsung pun sudah kembalikan ke setiap pribadi. Selamat mempertangungjwabkan diri!Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment