Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Thursday, February 17, 2011

“Ngetuprus” Soal Pesugihan

Acara realitas atau yang lebih dikenal dengan nama reality show, saat ini begitu digemari. Tak heran jika banyak ibu-ibu doyan “ngetuprus” (membincangkan) soal acara tersebut. Setiap hari di hampir semua stasiun televisi di Indonesia menyuguhkan Genre acara yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung, tanpa skenario, dengan pemain dari khalayak umum, biasa, dan bukan pemeran ini. Salah satunya adalah Reality Show dengan nuansa religi yang jika disimak secara seksama memiliki pola yang mirip yakni, berdosa, bertemu dengan tim, dan akhirnya bertobat.

Kasus yang disuguhkan pun kerap sama, seperti kasus pesugihan misalnya. Tindakan mencari kekayaan dengan jalan instant dan tidak lazim, umumnya diikat dengan perjanjian tertentu oleh setan ini menjadi kasus yang paling sering muncul. Menariknya dalam kasus pesugihan seperti ini kondisi komparatif (perbandingan) antara kondisi lama yang miskin, penuh derita dan banyak utang – berbanding dengan kondisi “mapan” banyak harta, kerap dijadikan alasan atas apa yang dilakukan. Seolah menjadi pembenaran atas tindakannya yang terdorong oleh kondisi, kendati cara yang ditempuh tak direstui iman dan agamanya.

Sedikitnya ada dua hal yang dapat dicicip dari fenomena tersebut. Pertama, pada kasus seperti ini secara perlahan kebenaran digeser ke ranah pragmatis. Ranah yang acap kali diringkas dalam formula yang menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang membawa hasil. Sesuatu itu disebut benar jika ia berhasil dan jika gagal berarti salah. Hal ini juga berdampak pada tataran moralitas. Moralitas tidak harus didasarkan pada alasan objektif, tapi juga pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat kesenangan pribadi atau sesuai selera. Karena itu tidak ada “salah atau benar” - yang benar atau salah tergantung kondisi, budaya atau situasi khusus yang dialami. Tak heran dengan alasan pragmatis lalu orang melakukan sesuatu berdasar kebutuhan, keinginan atau fungsional semata, tanpa memperhitungkan aspek halal dan tidaknya, sah atau ilegal, sesuai dengan ketentuan atau tidak.

Persoalan “Salah dan Benar” ditarik ke ranah relatif yang sumir, bak karet yang elastis dapat ditarik kemanapun orang kehendaki. “Salah dan benar” tidak lagi diposisikan pada ranah absolut sebagai bagian dari apa yang dinamakan ketentuan atau keputusan. Apa lagi dalam kasus di atas terkait erat dengan apa yang dinamakan dogma (kepercayaan atau doktrin yang dipegang) atau aksioma (sesuatu yang berharga dan dianggap benar). Orang Bali bilang “mule keto” (memang sudah begitu; memang diwariskan begitu) – artinya apa yang dinamakan keputusan, ketentuan atau dogma atau doktrin puncak yang bersifat primer dan utama hendaknya diterima apa adanya – tidak ditambah atau kurangi. Jika orang menghamba pada setan, membuat perjanjian dengan setan atau roh-roh tertentu, maka ketentuan yang berlaku mengatakan pastilah dia bukan hamba Tuhan, bukan orang yang dikehendaki Tuhan. Allah adalah Allah yang pencemburu – tidak ingin disekutukan. Allah menghendaki orang menyembah hanya kepada-Nya, bukan pada ilah lain, apa lagi setan. “Salah dan benar”, apalagi berkaitan dengan dogma, bagi agama adalah sesuatu yang bersifat mutlak, wajib dan harus – karena itu haruslah dipatuhi, diikuti apa adanya, seperti apa yang dimaksud.

Hal yang kedua adalah persoalan asal materi. Bukankah pemberi berkat adalah Allah dan berkat dalam bentuk materi dan kekayaan juga milik Allah? Bagaimana mungkin Setan atau roh apa pun itu dapat memberi berkat atau kekayaan? Apakah dengan demikian setan dapat menggantikan peran Allah untuk memberi berkat? Apakah Iblis hanya mengakui saja bahwa seluruh dunia adalah miliknya? Bagaimana dengan pencobaan iblis yang mengiming-imingi akan memberi seluruh isi dunia pada Yesus? Jika Allah mengijinkan Iblis memberi berkat, bagaimana menjawab anggapan ada semacam “relasi” antara keduanya? Atau Allah melakukan semacam “pembiaran” terhadap orang untuk melakukan dosa – lantas menuntut konsekuensi atas tindakannya tersebut? Entahlah, persoalan ini memang sulit dijawab dan memang cukup memusingkan.

Kendati demikian Mazmur 73 tentang kecemburuan Asaf pada orang-orang fasik yang terlihat lebih sehat, gemuk, sukses, kaya berbanding terbalik dengan dirinya setidaknya dapat memberi gambaran tentang cara Allah yang unik. Dalam Mazmur 73 :18 secara jelas terlihat bagaimana Tuhan mengijinkan orang-orang fasik berada di tempat-tempat licin. Dalam konteks kasus diatas, harta yang diminta adalah tempat licin yang oleh karenanya orang akan terjatuh. Orang yang hanya mengejar kekayaan dunia akan diperhamba oleh hal-hal yang dikejarnya. Slawi Ngethuprus Puol

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment