Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Thursday, February 24, 2011

Ngethuprus Lagi Soal: Kuasa Mayoritas, Penindas Kawulo Liyan

Meningkatnya angka kekerasan berlatarbelakang agama membawa orang kembali pada sebuah isu fosil. Isu lama yang sudah lapuk, yang seyogyanya tak perlu di unggah kembali. Isu tentang “Mayoritas – minoritas” yang muaranya selalu pada ranah kebencian dan superioritas kelompok tertentu terhadap komunitas lain. Inilah potret keberagamaan, berkebangsaan dan bermasyarakat di Indonesia di awal tahun 2011 ini

Dikotomi mayoritas-minoritas memang bukan pertama kali diusung oleh sekelompok orang di negeri kita ini. Isu ini kembali mencuat setelah beberapa kasus dan insiden kekerasan terjadi kembali. Peristiwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, juga pengrusakan gereja di Temanggung, kemudian mengalir pada wacana pembekuan organisasi berbasis keagamaan tertentu yang disinyalir sebagai biang kerusuhan dan anarki di negeri ini menstimulasi dibangkitkannya isu ini oleh sekelompok orang. Ketua DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta, Habib Salim Bin Umar Al Attos (Habib Selon),melontarkan kembali isu “mayoritas-minoritas” saat mengomentari wacana pembekuan ormas tertentu yang dipandang anarkis, disalah satu media beberapa waktu lalu. Habib Selon menuding Presiden Susilo Bangbang Yudoyono (SBY) lebih membela minoritas, daripada mayoritas. Habib Selon juga berencana akan mengerahkan massa mayoritas (umat Islam) untuk “mem-ben Ali-kan” (menurunkan paksa, seperti terjadi pada Presiden Tunisia Zine el Abidine ben Ali) presiden, jika SBY meneruskan niatnya membubarkan ormas.


Dari wacana yang dilontarkan terlihat jelas maksud orang yang menggunakan terminologi ini hendak membangun sebuah kerangka perbandingan relasi sosial antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Dengan mengutarakan kembali wacana mayoritas-minoritas, ada kecenderungan kuat orang untuk menunjukkan kuasa tertentu atas sekumpulan individu yang berjumlah banyak dan biasanya lebih supreme atau superior dalam banyak hal; sedangkan yang satu lagi ditunjukkan pada sekumpulan individu yang lebih sedikit secara kuantitas dan menjadi pihak yang inferior, yang seharusnya tunduk pada kuasa mayoritas.

Tak hanya itu, dalam tataran kebenaran orang seperti itu juga kerap mengganggap kebenaran, keputusan atau keyakinan umat, kelompok, atau organisasinya yang dianggapnya mayoritas sebagai kebenaran yang wajib pakai bagi ukuran. Kebenaran kolektif kelompok orang yang jumlahnya lebih banyak atau mayor, harus mengalahkan kebenaran partikular, yang minor.

Nyata benar “mayoritas” betul-betul memiliki taji, atau kuasa untuk menggugurkan kebenaran lain yang tidak sewarna. Dengan kuasa mayoritas, orang kerap melakukan apa pun untuk membela kebenarannya – meskipun cara yang digunakan sebenarnya bukanlah cara yang mencerminkan kebenaran yang dihidupi. Yesus sendiri disalib lantaran sekelompok orang dengan kuasa mayoritas menetang Yesus dan kebenaran yang dibawa-Nya – terlepas dari dogma kemahaan Allah Bapa menjaga keberlangsungan rancangan-Nya. Bahkan karena kebenaran minor yang harus diwartakan tersebut para Rasul harus menanggung sengsara, mati karena hukuman.

Kristen pun bukan tidak pernah menjadi mayoritas, bahkan sempat “merajai”. Ketika Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi di masa Konstantin Kristen begitu berjaya – pengikutnya pun dalam hitungan angka melambung tinggi. Namun sangat disayangkan, sementara Kristen menjadi agama negara, dan gereja mendapatkan posisi strategis – justru di situlah letak kehancuran gereja yang orang kenal dengan masa kegelapan.


Karena itulah mayoritas hendaknya tidak selalu diagung-agungkan keberadaannya. Karena pandangan, asumsi atau konsep kolektif mayor tidaklah selalu benar. Dalam tataran sosial berbangsa ditengah konteks plural seperti di Indonesia ini, istilah mayoritas-minoritas seyogyanya tidak perlu lagi digunakan – mengingat istilah ini kerap disalahartikan. Istilah ini hanya dijadikan sebagai pembenaran kelompok super untuk menindas “kawulo liyan” (orang lain / kelompok lain). Bukan karena kristen di Indonesia jumlahnya lebih sedikit, tapi karena minor atau pun mayor pada dasarnya sama – setara dihadapan hukum; memiliki hak yang sama; dihadapan Tuhan sama-sama sebagai ciptaan yang harus tunduk dan berlomba dalam nilai spiritual dan mengekspresikannya diranah sosial dengan buah perbuatan baik. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment