Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, February 8, 2011

Mengeluh Bukan Tak Beriman

“Tuhan mengapa nasibku begini…? Mengapa Tuhan tak menolong kami…? Mengapa kami harus menerima kesulitan seperti ini..? “
Kalimat-kalimat tanya yang tak jarang orang menganggapnya bernada negatif di atas tentu tak asing bagi Anda. Ung-kapan tanya yang tercipta karena situasi dan keadaan yang sedang tak berpihak kepada diri; Ungkapan keluh kesah yang terlontar dari jiwa-jiwa yang sedang menanggung persoalan berat; Pernyataan sedikit kecewa yang kerap terdengar lantaran ketidaknyamanan diri meli-hat orang dan lingkungan yang berbanding terbalik dengan nasib diri. Satu contoh yang menarik untuk menceritakan situasi ini adalah kisah seorang Asaf yang cemburu terhadap orang-orang fasik lantaran nasib para fasik tam-pak mata lebih baik dibanding dengan nasibnya sendiri yang terpuruk.

Dalam Mazmur 73: 3 dikatakan: “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik; 73: 4 Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; 73: 5 Mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain; 73:13 Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah; 73:14 Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi.”

Bagaimana mungkin seorang Asaf yang dikenal banyak orang sebagai putra suku Lewi, penyanyi utama, kepala paduan suara dalam kebaktian bisa berkeluh kesah seperti itu. Ah, sulit dipercaya seorang pelayan Tuhan yang sudah paham betul arti melayani Dia, bahkan kerap membimbing orang untuk bersatu hati memuji Allahnya itu, sempat tercetus dari mulutnya ungkapan kesah seperti itu.

Bukankah orang akan mencibir jika tahu ada seorang pelayan Tuhan yang berperilaku demikian? Bukankah hal ini menunjukkan keku-rangberimanan si pelayan Tuhan sendiri? Atau tak tahukah Asaf bagaimana dampak dari keluh kesahnya ini? Tak terpikirkah olehnya jika orang akan menganggapnya sebagai pembo-hong? Bagaimana tidak, bukankah tugas se-orang pelayan seharusnya “mempengaruhi” atau setidaknya meyakinkan umat bahwa Tu-han itu betul-betul baik terhadap seluruh umat, tak terkecuali dirinya – hingga membawa umat kepada ucapan syukur dan pujian yang seharus-nya terhadap Allah.

Mendengar hal ini orang fasik tentu akan tertawa terbahak-bahak, menikimati penderi-taan si Asaf. Sambil terkekeh-kekeh, si fasik pas-tilah akan berkoar banyak tentang kebodohan Asaf melayani Tuhannya. “Untuk apa melayani Tuhanmu jika akhirnya hidupmu menderita,” mungkin seperti itulah petikan kalimat dari ribuan untaian kata yang keluar dari mulut para fasik melihat keadaan Asaf.
Bagaimana dengan Asaf? Apakah dengan keadaan seperti itu membuatnya lantas berbalik dari jalan Tuhan dan memilih hidup layaknya seorang fasik yang “diberkati”? Hmm…tentu tidak sama sekali. Justru dengan keluh kesahnya itu Asaf mengungkapkan seluruh perasaannya. Bersama kesahnya Asaf menumpahkan seluruh ketidakpuasan melihat keadaan dirinya kepada Allah. Keluh kesah Asaf sama sekali tak menun-jukkan dirinya tak beriman atau kurang beriman. Keluh dan kesah merupakan tindakan wajar seorang Asaf menyikapi situasi yang seolah tak adil terhadap dirinya. Keluh kesahnya merupa-kan stimulus (rangsangan) awal baginya untuk mengetahui misteri makna di balik keadaannya itu. Tak sia-sia, misteri kesah dalam diri, yang dibalut kesetiaan yang teguh terhadap Tuhan membawa Asaf mampu melihat akhir dari apa yang dianggapnya sebagai “kemujuran dan kebaikan” sebelumnya.

“Mazmur 73:17 Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesu-dahan mereka; 73:18 Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.”
Ibarat mengendarai mobil mewah berkecepa-tan tinggi, mampu melaju kencang tapi tak memiliki rem, bukankah kehancuran sudah ada di depan mata.Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment