Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, February 2, 2011

Alkitab Menolerir Hukuman Mati?

ISU hukuman mati mencuat kembali seiring keinginan tim pembela Amrozi cs meninjau kembali dasar penerapan hukuman mati. Usul ini dikemukakan tim pembela itu seiring dengan semakin mendekatnya pelaksanaan eksekusi terhadap ketiga pelaku bom Bali I tersebut. Isu hukuman mati seolah terus bergulir seiring dengan terus dipakainya pidana mati sebagai rujukan bagi terdakwa dengan tindak pidana yang tergolong berat. Opini soal hukuman mati di masyarakat pun terkesan diliputi nuansa emosional dan penilaian sepihak. Tergantung dari siapa dan apa yang telah diperbuat si terdakwa, hingga dia berhak diganjar pidana mati.

Jika ditanya konsistensi dukungan terhadap penolakan hukuman mati, sepertinya kampanye anti-hukuman mati semakin lirih terdengar – sayup-sayup dan hampir lenyap – berbeda saat kasus Tibo yang santer beberapa waktu lalu. Ada apa di balik isu penolakan hukuman mati ini. Apakah Amrozi Cs, dengan kejahatan terorisnya layak dihukum mati – sementara yang lain lalu dibela dan diperjuangkan betul hak hidupnya untuk terbebas dari hukuman mati? Sulit menilai secara objektif tentang konsistensi penolakan hukuman mati. Perlukah hukuman mati diperjuangkan? Benarkah hukuman mati melanggar hak hidup seseorang? Tak adakah pidana lain selain hukuman mati?
Dampak dari hukuman mati pun, tak saja menimbulkan efek ketakutan atau kekejaman terhadap orang yang dieksekusi. Tetapi juga pada mereka yang melakukan eksekusi. Secara psikologis, orang yang mengeksekusi pun mudah sekali terganggu jiwanya, bahkan menimbulkan ketakutan, mungkin juga trauma dengan menyaksikan reaksi fisik seperti layaknya orang yang sedang dijemput ajal. Hukuman mati sudah seharusnya ditinggalkan. Sebab hukum produk kolonial Belanda yang kental dengan nuansa superior, penindas. Kebiasaan menghilangkan nyawa orang ini memang tak lagi relevan di bumi Indonesia yang seharusnya sangat menghargai kebebasan, dalam arahan sistem demokrasi di ranah majemuk seperti Indonesia ini.
Secara teologis, hukuman mati terkesan diberikan satu permakluman oleh agama. Bahkan ada kesan menolerirnya. Lihat saja bagaimana Tuhan Yesus wafat? Bukankah Dia mati di tiang salib yang kasar di bukit Golgota itu? Bukankah Tuhan justru memakai hukuman mati ini sebagai sarana untuk merealisasikan rencana-Nya yang akbar itu. Belum lagi bagaimana kitab Perjanjian Lama (PL) yang dekat sekali dengan hukum ini. Bagaimana pelanggar hukum berat, di jaman PL lalu dijatuhi hukuman mati.
Meniadakan hukuman mati begitu saja tentunya juga tak semudah membalik telapak tangan. Apa lagi putusan hukuman mati pun dihasilkan dari satu proses hukum yang niscaya adil dan objektif. Karena itu hasil dari proses peradilan pun harus dihargai dengan baik. Di sisi lain, manusia sebagai makhluk Tuhan yang segambar dan serupa dengan penciptanya – dengan segala hak yang dimilikinya tentunya patut dihargai.

Satu lagi hal yang terpenting di balik vonis hukuman mati adalah, tanpa sadar manusia telah “bermain jadi Tuhan”. Manusia seolah menjadi algojo yang menetukan hidup dan mati seseorang. Tak ada lagi kesempatan bagi manusia yang bersalah untuk bertobat dan kembali ke rel yang Tuhan tentukan. Berbeda dengan Tuhan yang pengampun dan pengasih yang memberikan banyak kesempatan kepada manusia – bahkan terus memperingatkan manusia dengan Roh Kudus untuk kembali ke pangkuan-Nya.

Sebagai umat, pilihan menolak atau setuju dengan hukuman mati memang berada di tangan kita, mengingat banyak terpidana mati yang berdarah dingin dengan tindak kejahatan yang sadis. Namun demikian penghargaan terhadap hak hidup seseorang, dan tak menjustifikasi seorang jahat akan terus jahat patut ditumbuhkan. Bukankah Saulus yang dulu membunuh banyak orang Kristen telah bertobat dan menjadi Kristen yang militan?  Slamet Wiyono

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment