Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, February 14, 2011

“Pokoke Wis Dibayar”

Agar menjadi baik, seseorang haruslah sangat kaya. Karena kemiskinan itu merupakan kelemahan pribadi. Begitulah kira-kira ungkapan Meno, si aristrokat arogan asal Thessaly, yang digambarkan Plato sedang berfiskusi dengan filsuf besar Socrates. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa Meno memi-liki keyakinan, sama seperti keyakinan orang dizamannya tentang adanya keterkaitan antara uang dengan kebaikan (virtue). Bagi Meno materi (uang) memiliki arti lebih dari sekadar benda mati. Materi memiliki kualitas lebih de-ngan disandangkannya suatu nilai kebaikan.

Sadar atau tidak, dewasa ini banyak orang juga memiliki pandangan yang mirip dengan keyakinan Meno tentang materi. Dewasa ini, tak jarang orang lebih menghargai materi uang, ketimbang orang yang jelas-jelas justru harus dikasihi. Seringkali uang juga digunakan sebagai penyelesai “masalah”, dalam artian orang me-rasa boleh melakukan apa saja terhadap orang lain asal diujung mulutnya sudah ada kalimat kunci “pokoke wis dibayar” (yang penting su-dah dibayar). Asal sudah membayar, orang sepertinya merasa memiliki keselurahan diri orang lain. Tak heran di berbagai negara yang katanya lebih religius,dengan orientasi hukum-nya (syariah) yang ketat, justru lebih banyak kasus pelecehan, penganiayaan dan kekerasan lain terhadap pembantu rumah tangga atau karyawannya.

Anehnya lembaga agama seperti gereja terjebak dalam situasi ini. Pelayan Tuhan, kos-ter atau pengerja tak jarang mengeluh dengan perlakuan gereja. Bagai mana tidak, atas nama pelayanan orang (pengerja) lalu wajib menyele-saikan seluruh tugas rumah tangga gereja, mulai dari hal yang berhubungan dengan keber-sihan, sampai melayani umat di mimbar maupun pelayanan pastoral perkunjungan jemaat. Bah-kan dibeberapa gereja tertentu, banyak diantara pengerja diberikan tugas ekstra yakni menjadi “pembantu” rumah tangga pendeta. Pembenaran untuk hal ini adalah “itulah peng-gemblengan gereja” terhadap pelayanan agar siap terjun ke lapangan. Alih-alih setelah meng-alami “penggemblengan”, si pengerja tadi bertekat tidak melakukannya tatkala dia menjadi senior nanti, seolah menjadi kebiasaan turun temurun, perlakuan penggemblengan itu pun berlanjut terhadap juniornya. Anehnya, perla-kuan ini seolah sudah termaklumi.

Sulit menjadi orang baik. Siapapun yang ingin dirinya menjadi baik, maka dia memerlukan uang yang sangat banyak sebagai pemenuhan sya-ratnya. Tapi sepertiny ada pertanyaan yang mengganjal, dapatkah seseorang memiliki uang tapi tidak baik? Atau sebaliknya Dapatkah seseorang tidak punya uang tapi baik? Minimal ada dua kemungkinan yang muncul, pertama, teramat mungkin ada orang yang punya uang, namun tingkah lakunya bejat. Kedua, mungkin saja seorang yang miskin dan papa namun memiliki tingkah laku yang baik.

Lantas mana sebenarnya yang disebut seba-gai seorang baik? Dalam diskusi antara Meno dan Socrates, filsuf besar Plato menggam-barkannya Socrates sedang mengarahkan Meno pada satu wawasan baru tentang adanya satu hal yang terlupakan oleh Meno, lebih dari seka-dar materi (uang), yakni “Adil dan Jujur”. Orang yang memiliki uang banyak, hanya dapat disebut baik tatkala ia memperolehnya dengan cara baik – adil dan jujur. Sebaliknya orang yang tidak punya uang dapat disebut baik tatkala ia hidup dalam keadilan, kejujuran dan berorientasi kebenaran. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment