Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Sunday, January 30, 2011

Melayani Bukan Pameran Aksi

Dalam setiap proses keberimanan seseorang yang dijalani dan dihidupi, tentu penuh dengan dinamika yang mengiringi dan perlu dimahfumi. Tak dapat dinafikan juga fakta naik turunnya iman seseorang dalam sebuah progress keberimanan. Adakalanya orang jatuh tersungkur dan selangkah lagi lari dari jalur keberimanan yang dihidupi, dan hamper saja kejatuhannya menggeser wawasan dunia yang dimiliki dan telah dihidupi sejak lama. Ada beragam alasan dan factor yang menjadi sumber sebabnya. Dan hal ini tentu hanya oknum tersebut, bersama sesembahannya yang mampu mengerti. Mungkin saja ada semacam wawasan dunia baru yang kemudian dipercayai sebagai satu keyakinan baru, sehingga menggeser wawasan dunia lama yang telah dihidupi, atau justru kekecewaan yang dalam terhadap orang, lembaga, atau oknum tertentu hingga membuatnya terkondisi semakin jauh dari rel yang ada.

Alhasil, tak hanya aspek teoritis dan konsep saja yang bergeser, tak jarang juga berpengaruh besar terhadap aspek praksis. Dalam hal ini, “pelayanan” – kata yang agung dan terkandung unsur sebuah keikhlasan dalam tindak nyata itu menjadi terkontaminasi, bahkan terdegradasi. Tak heran hal ini membuat orang yang mengalami menjadi acuh, baik terhadap diri, dan lingkungan, termasuk bersinggungan dengan kata pelayanan tadi. “ Bagaimana mungkin aku bisa melayani Tuhan dan sesama, sedangkan melayani diri pun sulit” demikian kilahnya. Tak sedikit orang memandang kondisi yang dialami ini merupakan bagian pembenaran diri untuk tidak beraksi dalam melayani. Sebagian lain menganggap itu merupakan bagian dari progresivitas diri dan keberimanan yang niscaya akan terus menunjukkan indikasi kearah yang lebih baik lagi.

Memandang kejatuhan orang sebagai bentuk keengganan atau ketidakmampuan melayani, tentu menyisakan sesak dan membuat orang yang mengalami akan mengelus dada. Sebab tak sedikit orang yang pernah mengaku, bahkan mengalami bahwa dirinya hina, dan tak layak melayani toh akhirnya dapat bangkit dan kembali pada jalur pelayanan – bersama intervensi Tuhan. Hal ini tentu merupakan proses yang wajar dan perlu dimahfumi. Lantas apakah seseorang yang sudah mencapai pada tingkatan tertentu dalam sebuah keberimanan, ditandai dengan aksi melayani dapat menjustifikasi orang yang dalam keadaan jatuh dan tak kuasa melayani? Apakah mereka yang menjustifikasi sama sekali tak pernah melewati, atau tak sedikit pun bersinggungan dengan proses awal yang wajar ini? Tentu patut disesalkan jika hal ini terjadi, sebab setiap orang pun pernah mengalami kondisi yang sama – inilah dinamika iman dalam sebuah progress keberimanan menuju tujuan yang satu itu. Sebab pelayanan merupakan anugerah Tuhan, dan aksi melayani pun terjadi oleh intervensi dan dorongan dari Roh Tuhan – bukan atas prakarsa diri yang kaya aksi. Aksi melayani sendiri pun merupakan bentuk respon diri terhadap anugerah ilahi yang terkondisi atas dasar stimulus Tuhan yang diperoleh dari spiritualitas yang intim bersama-Nya. Karena itulah pelayanan bukanlah pameran aksi yang patut disoraki – tapi sebuah kondisi respon diri atas dorongan ilahi.

Namun demikian kondisi jatuh seseorang tak boleh dijadikan sebuah pembenaran diri untuk tidak beraksi. Sehingga mengurung diri dalam sebuah sangkar emas kondisi nyaman diri yang tak jarang membuat betah orang yang mengalami. Kiranya Tuhan pun dapat memberikan kekuatan pada diri untuk boleh meresponi anugerah besar melayani sehingga membuahkan aksi melayani terhadap diri, orang, lembaga, dan Tuhan dengan penuh tanggung jawab. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment