Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, January 26, 2011

Melawan Keselarasan Hidup

Mudik atau Pulang kampung tentu menjadi dambaan bagi siapa saja yang hidup ditanah orang, tanah rantau nunjauh dari desa. Mudik bagi perantau telah menjadi sebuah tradisi dan kebutuhan wajib yang layak dipenuhi. Perjalanan mudik, kendati jauh dan membutuhkan waktu lama, masih sangat nikmat dirasai. Tidak jarang dalam perjalanan pulang menuju tanah kelahiran justru mendapat banyak pelajaran yang layak dipetik bagi pengalaman hidup.

Seperti kisah perjalanan saya beberapa waktu lalu. Dengan menumpang kereta ekonomi yang memang murah meriah itu ada berbagai macam hal yang dapat ditemui dan nilai, setidaknya bagi konsumsi diri. Dalam kereta yang ditumpangi oleh mayoritas orang dari suku Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut orang sangat mudah membaur. Tak heran dalam konteks sosial yang homogen, dengan motif yang sama – ingin pulang kampung; juga kekesalan yang sama lantaran jadwal kereta yang molor, seperti petikan lirik lagu Iwan Fals 'Kereta terlambat dua jam itu biasa” orang menjadi mudah akrab, tidak canggung dalam berinteraksi, mudah berkomunikasi. Keakraban seperti ini dimata Franz Magnis-Suseno, seorang filsuf yang pernah menyelidiki suku Jawa secara khusus bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena memang naturnya haruslah demikian. Seperti yang Romo Magnis urai dalam bukunya Etika Jawa, keakraban seperti ini disebut sebagai prinsip Rukun. Rukun disini berarti keadaan harmonis. Rukun juga lebih diartikan sebagai cara bertindak, yakni tindakan untuk tidak mengganggu keselarasan hidup yang sudah ada, juga menghindari terjadinya konflik di masyarakat. Namun sangat disayangkan kadangkala prinsip-prinsip ideal tersebut sekarang ini kerap dijungkirbalikkan.

Setidaknya gambaran tersebut tampak jelas dari peristiwa dalam perjalanan pulang di gerbong kereta.. Suasana penuh keakraban, ngobrol ngalor ngidul dengan orang lain di bangku yang saling berhadap-hadapan dalam sebuah gerbong kereta harus diciderai dengan tingkah salah seorang penumpang yang dinilai tidak sopan. Bagaimana tidak, jika seluruh penumpang kereta dengan tujuan akhir kota malang tersebut dapat duduk dengan rapi, salah seorang pria dalam gerbong tersebut justru naik ke pembatas bangku kereta dalam posisi jongkok membelakangi penumpang lain. Parahnya lagi, maaf kata, pantatnya tepat diatas kepala seorang bapak tua.

Kontan ulah tak lazimnya ini menuai protes banyak orang di sekitar. Alih-alih merubah posisi dan bersedia duduk seperti orang pada umumnya, saat ditegor bapak tua yang berada tepat dibawahnya, si pembuat ulah ini justru menjawab “ disini tidak ada aturan,.. kalau bapak mau duduk diatas ya silahkan saja...” jawabnya. Tak digubris, orang-orang yang protes dengan ulah tak sopan tersebut tak dapat berbuat apa-apa dan lantas hanya dapat mendiamkannya saja.
Tak berselang lama pria tersebut kemudian turun, lalu menggelar koran dan tidur tepat ditengah-tengah jalan dalam kereta, tempat orang berlalu-lalang. Tak ayal banyak orang pun melangkahi, bahkan beberapa pedagang asongan sempat menyenggol kepala, dan hampir menginjaknya.
Ini mungkin cerita yang biasa, dan sering dilihat atau dengar. Tapi dari cerita ini setidaknya ada setitik makna yang dapat diambil. Pertama, dalam kebersalahannya melawan aturan dan nilai-nilai kesopanan dalam masyarakat, Pria pembuat ulah tadi setidaknya telah konsisten. Ya konsisten terhadap perkataannya bahwa di kereta tidak ada aturan dengan membiarkan orang melangkahi, atau bahkan hampir menginjaknya. Konsisten melawan keselarasan hidup yang sudah ada, dan nilai kesopanan yang sudah dibangun dengan mendiamkan orang menabrak kesalarasan dan nilai tersebut atas dirinya.

Kedua, dengan meminjam kalimat yang dipakai Emha Ainun Najib dalam bukunya “Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah“, fenomena seperti ini merupakan ekspresi atau justru dampak tidak terdistribusinya kekuasaan kepada masyarakat bawah. Karena itulah saat orang diberi sedikit kuasa, maka ia akan menggenggamnya sedemikian rupa – meskipun itu tak lebih dari kuasa atas bangku kereta. Maklum jarang-jarang rakyat kecil dapat mengekspresikan superioritasnya – meskipun itu harus menabrak tatanan moral atau nilai kesopanan sekalipun. Namun sayang, orang-orang seperti itu sering lupa bahwa dibalik tindakan superiornya ada justifikasi sosial yang akan mendera, ada penilaian yang tak mungkin dihindarkan - itulah penghakiman sosial yang akan dengan mudah meminggirkan orang yang lupa dengan tatanan dan nilai sosial yang telah disepakati secara kolektif. Slawi

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment